Menyusul aksi militer Rusia di Ukraina beberapa hari terakhir, banyak efek berantai yang muncul di berbagai bidang, termasuk di olahraga sepak bola.
Ada klub yang membatalkan kerjasama sponsor dengan perusahaan asal Rusia, dan keputusan UEFA memindah arena final Liga Champions, dari yang sebelumnya di Saint Petersburg (Rusia) ke Paris (Prancis).
Tentunya, keputusan-keputusan ini datang dari rasa solidaritas pada krisis kemanusiaan di Ukraina, dan pertimbangan lain, termasuk keamanan.
Tapi, jika melihat ke subjek spesifik, maka Chelsea adalah satu klub yang bisa jadi akan sangat terdampak. Seperti diketahui, klub asal kota London ini dimiliki oleh Roman Abramovich, pebisnis asal Rusia.
Meski sebenarnya sudah memiliki Si Biru sejak tahun 2003, situasi sang juragan minyak di Inggris kurang mengenakkan. Maklum, dirinya dikenal sebagai orang dekat Vladimir Putin (Presiden Rusia).
Otomatis, sejak hubungan Inggris dan Rusia meregang tahun 2018, Abramovich kena getahnya. Pria yang sempat mensponsori klub CSKA Moskow ini tak bisa leluasa bepergian ke Inggris, sekalipun punya visa investor dan paspor Israel, paspor yang konon terkenal "sakti" di negara-negara barat.
Situasi makin runyam, karena pemerintah Inggris berencana membekukan aset milik orang Rusia di sana, termasuk milik Abramovich.
Otomatis, Chelsea bisa kena imbas. Apalagi, bos perusahaan Sibneft ini diketahui sebagai salah satu figur oligarki yang pro pada Vladimir Putin.
Situasi ini sedikit mengingatkan kita pada situasi Manchester City tahun 2008. Kala itu, klub dari kota Manchester baru setahun dibeli oleh Thaksin Shinawatra, pengusaha dan politisi asal Thailand.
Awalnya, semua terlihat cukup baik. Ada nama Sven Goran Eriksson (Swedia) di kursi pelatih, dan Elano (pemain Timnas Brasil) sebagai motor serangan. Thaksin yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand juga memboyong Teerasil Dangda berlatih di kota Manchester.