Setiap tahunnya, Imlek atau Tahun Baru Cina menjadi satu momen yang ditunggu, terutama bagi kalangan etnis Tionghoa. Ada kebersamaan, dan tentu saja angpao, khususnya bagi mereka yang masih belum berkeluarga.
Tapi, seiring berjalannya waktu, ada sebuah paradoks yang muncul di momen tahunan ini.
Waktu masih kecil, Imlek terasa benar-benar menyenangkan. Sekolah libur, dapat angpao, makan enak, dan bercengkrama dengan keluarga besar. Satu momen yang mungkin akan ditunggu tahun berikutnya.
Masalahnya, seiring bertambahnya usia, kegembiraan itu makin lama makin berkurang. Ada perbandingan soal prestasi belajar, dan prestise soal tempat studi, misalnya jika ada yang sekolah di sekolah favorit atau sekolah unggulan.
Ketika naik ke jenjang kuliah, ada lagi perbandingan serupa, tapi dengan beban berbeda. Mereka yang progres studinya normal atau cenderung santai, biasanya akan dikejar pertanyaan "kapan lulus?" yang sebenarnya agak mengganggu.
Kalau proses studinya lancar, ada beban lain yang muncul, juga dari pertanyaan "kapan" yang menyebalkan itu. Entah sudah mapan atau belum, semua hampir pasti mendapatkan.
Bagi yang masih berjuang mencari pekerjaan tetap atau bekerja seadanya, posisi "sudah lulus" mungkin akan membuat pertanyaan "kapan" itu akan sangat mengganggu, karena rawan membuat diri sendiri merasa insecure.
Andai sudah punya pekerjaan tetap di perusahaan besar sekalipun, pertanyaan seputar "kapan" ini juga cukup mengganggu, karena sisi pribadi yang jadi "titik lemah" akan diserang habis.
Misalnya, jika seseorang sudah mapan tapi masih bujangan, pertanyaan soal pasangan akan datang bertubi-tubi. Ini seperti halnya pertanyaan seputar anak bagi mereka yang sudah menikah, tapi belum mendapat momongan.
Atas nama perhatian, perilaku toksik ini menjadi wajar, meski sebenarnya tidak pantas.