Pada masa pandemi, empati menjadi satu hal yang umum, terutama di masa-masa sulit. Ada begitu banyak orang yang tanpa malu-malu langsung membantu mereka yang kesulitan, bahkan sampai rela turun ke jalan.
Fenomena ini tentu saja mendatangkan harapan. Masih ada orang baik, sekalipun keadaan sedang sulit.
Pertanyaannya, apakah empati ini masih hidup, di saat situasi sedang naik-turun seperti sekarang?
Jawabannya masih, walaupun ada pihak yang empatinya sedang berlibur, entah ke mana.
Bagi yang empatinya masih siaga, kita layak bersyukur, karena kebaikan yang ada masih terjaga, bahkan mulai menjadi satu kesadaran bersama. Mereka yang empatinya masih siaga ini, sudah mampu menepikan egonya,
Meski ada dari mereka, yang sebenarnya mampu melakukan sesuatu sesuai keinginan, previlese itu berani ditepikan sejenak, demi kebaikan bersama.
Masalahnya, ada juga pihak-pihak yang melupakan empati. Atas nama "kesehatan mental", mereka tak malu untuk bersenang-senang, di saat banyak orang merasa bingung harus berbuat apa.
Makanya, saat ada "public figure" yang panen kritik, karena membawa pulang oleh-oleh virus setelah berlibur ke luar negeri, atau "lolos" dari karantina karena dinilai bersikap sopan, saya merasa, tak perlu ada empati untuk mereka.
Bukan bermaksud kejam, saya hanya coba untuk menyesuaikan diri dengan sikap mereka. Mereka pantas mendapatkan kritik, karena sudah bersikap lalai dalam keadaan darurat seperti sekarang.
Dalam kapasitas mereka sebagai "public figure", yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, mereka malah memberi contoh buruk, yang tidak seharusnya dilakukan.