Judul di atas mungkin terdengar agak sarkastik, tapi inilah yang perlu saya ucapkan, seturut kemenangan Thailand atas Indonesia di leg pertama babak final Piala AFF 2020, Rabu (29/12).
Tak perlu menjelaskan, apalagi beralasan terlalu panjang lebar, lawan yang dihadapi Tim Garuda kali ini memang unggul di semua aspek. Operan akurat, skema permainan rapi, penyelesaian akhir bagus, kerja sama tim pun kompak.
Mereka tahu apa yang harus dilakukan, dan kapan harus menyerang atau bertahan. Skor 4-0 sudah cukup menjelaskan semuanya.
Dimulai dari gol cepat Chanathip Songkrasin di menit ke 2, gol-gol lainnya seperti tinggal menunggu waktu, karena tim asuhan Alexandre Polking bermain dominan. Dimotori Chanathip Songkrasin dan Supachok Sarachat di lini tengah, Thailand memang bermain dengan sangat nyaman.
Saking nyamannya, mereka dengan leluasa mengganti kiper, sektor paling tidak sibuk di pertandingan itu, seperti laga uji coba saja.
Dominasi Changsuek membuat Indonesia menderita sepanjang pertandingan. Jangankan menembak apalagi mencetak gol, bertahan saja sudah sangat kesulitan.
Satu hal yang membuat saya berterima kasih adalah, Timnas Thailand tampil lugas, dan mampu "membangunkan" publik sepak bola nasional dari euforia belakangan ini.
Dimulai dari hasil imbang tanpa gol melawan Vietnam, plus kemenangan atas Singapura dan Malaysia, euforia seperti tak terbendung, seperti sudah juara dunia saja.
Padahal, lolos ke final sebenarnya belum menjamin status juara pasti di tangan. Malah, final adalah momen kritis, yang bisa membuat semua berantakan dalam sekejap, khususnya jika kewaspadaan sampai hilang.
Celakanya, inilah yang terjadi pada publik sepak bola nasional. Atas nama optimisme dan nasionalisme banal, fakta bahwa Tim Gajah Perang sudah tiga kali mengalahkan Indonesia di final Piala AFF langsung ditepikan.
Gawatnya lagi, prediksi rasa ekspektasi masih saja ada. Ironisnya, di saat bersamaan, publik Thailand malah sudah merasa optimis duluan, karena mereka tahu, siapa dan bagaimana karakter Timnas Indonesia.