Seiring meroketnya angka kasus harian penderita COVID-19 di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan PPKM Darurat sejak tanggal 3-20 Juli mendatang. Kebijakan ini sendiri belakangan diperpanjang sampai 25 Juli, karena laju kasus baru yang cenderung masih meningkat.
Bukan pesimis, tapi faktanya memang demikian. Jika tidak meningkat, tak mungkin rumah sakit sampai kekurangan tempat, dan orang-orang takkan panik mencari tabung oksigen atau membeli susu kaleng cap beruang.
Oke, kebijakan ini memang bertujuan menekan angka pertambahan kasus baru. Sama seperti PSBB di masa awal pandemi di Indonesia.
Masalahnya, di saat masyarakat dengan angka pemasukan stabil (khususnya kelas menengah ke atas) bisa tetap leluasa bekerja di rumah, mereka yang bergantung pada pemasukan harian, baik yang tetap atau tak menentu, tak punya pilihan lain, selain tetap bekerja.
Tak peduli nanti kena ciduk petugas, semua tetap diusahakan, yang penting dapur bisa tetap ngebul. Terdengar nekat, tapi kebutuhan hidup memang tak bisa ditunda.
Jika melihat situasinya, wajar jika fenomena ini muncul. Pemerintah punya kebijakan, tapi tak benar-benar menghadirkan solusi bagi mereka. Belum lagi, jika sektor lain, seperti pariwisata, ikut masuk hitungan.
Entah berapa banyak orang yang terdampak, bahkan kehilangan pekerjaan, tapi tak bisa berbuat banyak.
Merintis usaha atau cari kerja lagi, semua terkendala imbas PPKM Darurat dan laju pertambahan kasus harian.
Kalaupun ada cadangan dana pribadi, pasti jumlahnya terbatas, karena sudah cukup terkuras sejak awal pandemi. Saat situasi mulai membaik, itu hanya awal dari kembali memburuknya keadaan
Sejak awal pandemi, PSBB, sampai PPKM Darurat, siklus semacam ini terus saja berulang. Ini jelas kurang baik, karena berpotensi menghadirkan kerawanan sosial.
Jika tingkat ketertiban di Indonesia masih gawat, rasanya PPKM Darurat ini hanya satu repetisi dari PSBB, meredam sejenak ledakan kecil, tapi saat dilepas justru meledak dengan daya rusak lebih besar.
Jika solusi "lockdown" masih tidak memungkinkan karena dana minim, seharusnya itu bisa diakali, dengan memotong anggaran gaji dan tunjangan pejabat negara, termasuk PNS, yang jadi salah satu pengeluaran terbesar negara.