Sudah setahun sejak pagebluk datang, dengan membawa masalah demi masalah. Aku masih ingat, bagaimana semua jadi terasa menyakitkan.
Mulai dari gaji yang tiba-tiba ditawar sampai nol rupiah, sampai THR yang belum dibayar, semua jadi kenyataan pahit buatku. Aku ingat betul, seberapa sering aku makan nasi putih atau nasi uduk polos hanya berlauk sambal.
Bukan masalah, karena aku bersyukur masih bisa makan.
Di saat bersamaan, bos tetap bisa jalan-jalan, makan enak, dan membuat kesan semua baik-baik saja. Seperti menari di atas penderitaan orang lain.
Saat keadaan kian memburuk, aku jadi salah satu orang yang harus rela menerima kenyataan pahit, hanya beberapa hari sebelum tanggal gajian.
Sebenarnya, aku sudah mencium gelagat tak beres sejak akhir tahun. Semua terlihat kacau dan panik. Sebenarnya, aku sudah mulai bergerak mencari peluang lain, sayang, pagebluk keburu datang.
Setelahnya, aku sempat terlunta-lunta. Aku bertahan dengan hanya berpegang pada tabungan, kerja magang, kerja lepas dengan pemasukan alakadarnya, dan sedikit bantuan dari mereka yang sudi berbaik hati mengirimkan atau memberikan makanan.
Bukan, itu bukan dari keluarga di rumah atau rekan kerja di kantor, karena mereka lebih banyak mendikte atau merecoki, tapi tak pernah membantu.
Pada akhirnya, aku pulang setelah semua pekerjaan tuntas, seperti halnya perkara tunggakan gaji.
Kebetulan, ada kesempatan magang yang kudapat, tak jauh dari rumah. Ini lebih baik daripada menunggu godot berwujud lowongan kerja di tengah pagebluk, dan ketidakpastian di rumah.
Tapi, ternyata ini sedikit lebih buruk. Nyaris tak ada jeda, lengkap dengan tekanan kerja dan gaji yang jomplang.