Sebagai pembuka, izinkan saya menjelaskan, bahwa apa yang saya tulis ini merupakan hasil refleksi dan pengamatan pribadi.
Sejak merebaknya pandemi Corona, khususnya di Indonesia, ada satu alasan, yang seolah menjadi "lagu wajib" bagi pelaku usaha atau pengambil keputusan, yakni "imbas pandemi", yang memang sukses membuat berbagai sektor limbung, bahkan ambruk.
Pada awalnya, ini memang bisa diakali, misalnya dengan melakukan penyesuaian (kalau tak boleh dibilang pemotongan) gaji, dari yang jumlahnya kecil sampai besar.
Tapi, masih berlarutnya situasi membuat "imbas pandemi" perlahan berubah menjadi "nyanyian basi" di masa pandemi.
Bukannya menganggap remeh pandemi, tapi "nyanyian basi" ini tampaknya sukses membuat sebagian pengambil keputusan kehilangan kreativitas dan kepekaan.
Pandemi sudah berjalan selama kurang lebih satu tahun di Indonesia, kalau masih pakai "nyanyian basi" ini, kita patut bertanya: apa tidak ada adaptasi? Setahun ini ngapain aja?
Bagaimana tidak, sebagian dari mereka hanya berlindung di balik alasan "imbas pandemi", dan tega melakukan pemotongan gaji atau PHK besar-besaran. Sementara itu, pada saat bersamaan, mereka bisa piknik, bergaya hidup wah, melakukan "business trip" dan "mejeng" di media sosial, seperti tidak terjadi apa-apa.
Padahal, kalau mereka bisa menahan diri, pengeluaran untuk bersenang-senang atau bepergian itu agaknya cukup untuk mengamankan anggaran gaji, dan mencegah PHK. Buat apa ada sarana rapat virtual jika tak digunakan?
Mereka boleh saja mengatakan, ini adalah cara untuk menjaga kesehatan mental.
Tapi, tak elok rasanya, jika kesehatan mental banyak orang dikorbankan, hanya untuk kesenangan sekelompok kecil orang. Apalagi, jika mereka memang tak pernah turun ke bawah, atau memang tak membumi.
Secara ekonomi, mereka sudah berkecukupan, andai harus berhemat seharusnya itu bukan masalah besar.