Sudah tiga bulan sejak aku pulang ke sini dengan hati yang hancur. Benar, pagebluk membuat semua kacau. Semua orang panik, dan hilang ketenangan.
Ada juga yang putus harapan, karena berkali-kali kena "ghosting" saat melamar kerja, setelah sebelumnya kena PHK massal.
Hatiku sendiri hancur, karena selama aku pergi, mereka tetap banyak mendikte dan mengirim "racun". Entah kepanikan, entah pandangan politik yang sebenarnya enggan aku bahas, atau urusan lainnya. Aku enggan berkomentar banyak, karena sebenarnya itu bukan urusanku.
Kalaupun ada yang membuatku yakin untuk pulang, itu karena opa datang dan memberikan pesan dalam mimpi.
Aku ingat, waktu itu opa datang dan memberiku sepiring dodol. Rasanya familiar dan enak sekali. Mungkin, inilah resep yang konon "enak" itu.
Memang, segera setelah pulang, aku sempat mendapat magang di sebuah toko, tapi akhirnya aku memilih pergi, karena situasi dan kondisinya memang menyarankan demikian.
Tapi, ketika aku benar-benar pulang ke rumah, aku merasakan rasa getir itu lagi. Dikte demi dikte datang, bersama kurangnya toleransi atas perbedaan selera.
Tidak ada protes yang boleh terucap tuntas, karena konon katanya itu tidak bermutu. Tidak ada ketenangan, kecuali aku sedang pergi, atau puncak malam sedang hadir.
Aku masih ingat, mereka menyalahpahami keputusanku untuk bertahan sampai akhir tahun kembar di ibukota. Ada kata "ceroboh" dan sebangsanya yang merundungku, sebelum akhirnya aku balik bertanya,
"Memangnya, kalau aku pulang, apa yang akan dan bisa aku lakukan?"
Untuk beberapa saat, mereka terdiam, dan saat menjawab, tak ada satu hal kongkrit pun yang mereka bisa bicarakan, semuanya abstrak.