Di dunia kerja, loyalitas menjadi satu kata kunci, sekaligus tolok ukur kualitas disamping kinerja. Semakin loyal seseorang, maka ia dianggap semakin berkualitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), loyalitas sendiri bersinonim: kepatuhan; kesetiaan.
Meski punya dua sinonim, loyalitas cenderung diasosiasikan dengan kesetiaan. Alhasil, muncul ungkapan "loyalitas tanpa batas".
Tapi, jika ditelaah lagi, ungkapan ini sebetulnya agak salah kaprah. Bukan bermaksud mendiskreditkan, tapi kesetiaan pun sebenarnya tetap punya batas yang tak bisa dilawan.
Contoh paling kelihatan adalah umur. Sebesar apapun kesetiaan seseorang, pada akhirnya ia akan dibatasi oleh usia pensiun, atau keputusan (pribadi maupun institusi) atas status mereka.
Mau tak mau, semua harus berakhir. Kalaupun bisa berlanjut, tentu perannya akan berbeda, karena menyesuaikan dengan keadaan.
Sebagai contoh, di sepak bola, kita bisa melihatnya pada empat sosok "one man club", yakni Fransesco Totti (AS Roma), Ryan Giggs (Manchester United), Carles Puyol (Barcelona) dan Paolo Maldini (AC Milan).
Seperti diketahui, keempatnya sama-sama bermain di satu klub sampai pensiun. Setelah pensiun, mereka melakoni peran berbeda, meski masih di klub yang sama.
Ada yang duduk di pos direksi, ada yang menjadi asisten pelatih, dan ada juga yang menjadi duta klub.
Di sini, kesetiaan memang masih terlihat, tapi jika keputusan klub atau pribadi berkata lain, kesetiaan itu menjadi sebuah kepatuhan.
Contohnya, saat Giggs memilih hengkang dari Old Trafford karena tak ditawari pos asisten pelatih oleh Jose Mourinho. The Welsh Wizard akhirnya berganti peran menjadi duta klub, sebelum akhirnya menjadi pelatih Timnas Wales.