Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Secuil Idealisme, Separuh Mimpi

Diperbarui: 7 Februari 2021   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Freepik.com)

Judul di atas mungkin terdengar membingungkan, tapi inilah pendapat saya soal "worklife balance". Topik ini belakangan banyak dibahas, dan menghasilkan berbagai perspektif.

Saya pun akhirnya tergoda untuk menuangkan ekspresi saya, tentang topik keriting satu ini. Tentu saja dengan perspektif sebagai seorang pekerja biasa.

Saya menyebut "worklife balance" sebagai secuil idealisme, karena ini memang "sesuatu yang idealnya seperti itu" secara sempurna.

Masalahnya, ada beragam perspektif tentangnya, yang membuat ini terlihat membingungkan. Ada yang porsi waktunya berbeda, ada juga yang pembagian jenis kegiatannya berbeda.

Dari segi waktu, ada yang menganggap, 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam untuk kegiatan lain itu ideal. Padahal, banyak orang yang punya jam kerja lebih dari itu. Ada yang 9 jam, 12 jam, bahkan lebih.

Itu belum termasuk jika ada "tugas darurat" mendadak di luar jam kerja. Sebagai seorang pekerja, saya berprinsip hanya akan menerima ini jika belum terlalu malam, atau dibawah pukul 9 malam. Dengan catatan, ini benar-benar sangat darurat.

Penyebabnya bukan karena saya malas, tapi karena saya harus menjaga kondisi kesehatan. Terlalu sering mengerjakan hal-hal teknis diluar jam kerja sama dengan menabung penyakit.

Ini menjadi satu hal yang sangat saya perhatikan, selain karena saya pernah beberapa kali ambruk karena kelelahan, orang tua dan kerabat banyak mewanti-wanti agar saya perhatian betul.

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar cerita pengalaman mereka tentang kasus kematian mendadak di tempat kerja mereka dulu, akibat serangan jantung karena terlalu lelah bekerja.

Tentunya, ini jadi satu hal yang sangat saya perhatikan. Apalagi, saya pernah terkena demam berdarah dan tekanan darah rendah.

Tak ada gunanya saya berkorban terlalu banyak, jika pada akhirnya saya hanya dibuang setelah dianggap "tak berguna lagi". Toh jika saya tak bisa "digunakan" lagi, perusahaan bisa langsung mencari penggantinya. Beres.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline