Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sepotong Senja Bersama The Next Sate Ratu

Diperbarui: 3 Februari 2021   22:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sate Merah dan sepiring nasi (Dokpri)

Pada Rabu (3/2), saya berkesempatan mengunjungi warung The Next Sate Ratu di Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Cuaca hujan sejak sore memang membuat mentari senja bolos hadir, tapi saya tetap berangkat, meski agak terlambat datang.

Sejak awal, saya memang tertarik ikut, karena kebetulan waktunya berdekatan dengan jam pulang kantor. Kebetulan, belum lama ini saya sempat terkena gejala darah rendah.

Bisa refreshing sepulang kerja bersama teman-teman K-JOG, sambil menaikkan tensi darah, dan menulis dalam suasana syahdu bersama hujan. Sempurna.

Suasana hujan yang biasanya mengundang galau dan kenangan suram, kini justru jadi menyenangkan. Selain bisa menyantap sepiring sate merah, saya juga berkesempatan mewawancarai Pak Fabian Budi Seputro, sang tuan rumah.

Pada awalnya, saya langsung mendapat kesan unik, saat menyantap sate merah. Rasanya spicy, dan dagingnya tidak menyangkut di sela gigi. Di sini, saya langsung berpikir, ini lain dari yang lain, spesial.

Benar saja, kesan unik ini makin kentara, setelah Pak Budi bertutur tentang ekspatriat yang mampir kemari. Ternyata, mereka langsung cocok dengan rasa khas menu sate di sini.

Tak tanggung-tanggung, mereka berasal dari 85 negara berbeda. Kunjungan mereka memang dicatat secara khusus, karena ini merupakan bagian dari misi Pak Budi memperkenalkan kuliner Nusantara, khususnya sate, yang kadung diasosiasikan hanya punya rasa manis dan gurih.

Kesan lain yang saya dapat di sini adalah, "keunikan yang normal". Mungkin terdengar aneh, tapi inilah mindset yang memang jadi identitas khas Sate Ratu.

Benar, mereka unik dari segi rasa, tapi tidak lantas terjebak dalam obsesi untuk tampil beda dan berinovasi. Fenomena ini biasa ditemui di bisnis era kekinian, dan justru kerap jadi bumerang, karena bukan konsumen yang jadi titik pusat.

Syukurlah, ini tidak terjadi di Sate Ratu. Mereka memang mengikuti arus perubahan, tapi tak terhanyut olehnya. Persis seperti pepatah Jawa "ngeli tapi ora keli."

Mereka malah memikirkan bagaimana caranya supaya perbedaan dalam inovasi ini jadi keunikan dan ciri khas yang bisa diterima luas, karena konsumen adalah koentji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline