Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Dear Diary

Diperbarui: 12 Januari 2021   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Dreamstime.com)

Bukan, ini bukan alunan lagu band Mocca yang mendayu itu. Inilah suara hatiku, setelah tak ada orang yang bisa kuajak bicara satu lawan satu.

Semua sibuk dengan urusan pribadinya, pekerjaan, dan pasangannya. Jadi, aku hanya bisa bercerita kepadamu di sini, karena aku bingung harus bercerita ke siapa.

Sudah hampir sebulan sejak aku dipaksa pulang karena pagebluk ini, setelah sempat melalui perdebatan seperti di neraka. Aku masih ingat, seberapa menjengkelkan situasi itu, ditambah lagi, tak ada jaminan kalau aku punya kejelasan nasib lebih baik dari sebelumnya.

Satu hal yang paling aku benci di sana, adalah jika aku jadi pekerja lepas, tapi dapat gunjingan di belakang, karena terlihat seperti pengangguran. Mengenaskan.

Benar, pada akhirnya aku memang dapat pekerjaan tetap di sini. Aku bersyukur untuk ini, tapi aku benci kenyataan yang mulai muncul, dari keputusan ini.

Hatiku terasa sakit karena banyak hal akibat efek pagebluk sialan ini. Ada tunggakan gaji yang belum jelas juntrungannya, perasaan tercampakkan, hidup yang nyaris tanpa jeda, dan sikap kelewat egois orangtua.

Semakin ke sini, aku semakin menyadari, pulang adalah keputusan paling menyakitkan. Memang ada jeda sejenak sebelum aku mulai, tapi ada dikte yang terus merecoki. Ditambah lagi, ada cara pandang kelewat fanatik soal politik, yang membuatku mual.

Selama ini, aku hanya merasa perlu untuk "cukup tahu dan diam saja" soal topik satu itu. Aku rakyat jelata yang kadang terlupakan karena kondisi tubuhku. Itu saja.

O ya, belakangan hatiku sering menangis, karena pulang hanyalah keputusan yang menyenangkan satu pihak. Pikiran ini tidak sepenuhnya damai karena ada dikte di sana-sini, perasaan tersinggung karena diremehkan, dan entah apa lagi.

Aku dulu pernah sangat bersyukur, karena pergi pernah jadi keputusan paling hebat. Biarpun harus berhemat, aku bebas dari jeratan dikte dan pertanyaan tanpa ujung. Aku juga dapat banyak hal yang tak kudapat di rumah.

Aku sangat senang, karena diriku bisa berkembang bebas di sana. Ada ruang cukup untuk kehidupan pribadi, dan waktu untuk benar-benar istirahat. Bahkan, aku bisa pergi ke psikolog, tanpa ada penghakiman apapun dari mereka, yang merasa tahu segalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline