Judul di atas adalah kesimpulan saya pada sosok pasangan Kompasianers senior, yakni Tjiptadinata Effendi dan Roselina Tjiptadinata. Secara pribadi, saya biasa menyebut mereka Opa dan Oma Tjip, karena mereka jauh lebih senior dari kedua orang tua saya.
Sejak mulai ber-Kompasiana pada akhir tahun 2016 silam, nama mereka memang sudah menjulang di Kompasiana. Bukan hanya karena faktor senioritas, tapi murni karena dedikasi dalam menulis.
Hal serupa juga sempat saya temui di satu platform menulis lain, yang belakangan sudah tutup. Nama Opa Tjip dan tulisan-tulisannya kerap berkibar di deretan atas platform, di tengah banyaknya penulis muda.
Kesungguhan mereka dalam hal menulis memang lain dari yang lain, khususnya pada usia mereka. Lewat produktivitas dalam tulis-menulis, Opa dan Oma Tjip seolah kompak berkata,
"Pertambahan usia bukan batasan untuk seseorang berhenti melakukan apa yang seseorang senangi, terutama jika itu bisa bermanfaat bagi sesama."
Saya sendiri tidak tahu persis, buku apa saja yang sudah mereka terbitkan, dan penghargaan apa saja yang sudah mereka dapat. Banyaknya jumlah tulisan istimewa yang mereka buat, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menampilkan, seberapa tinggi ilmu menulis mereka.
Kalau mau, mereka sebenarnya bisa berhenti menulis kapanpun mereka suka. Jika dianalogikan sebagai cerita silat, Opa dan Oma Tjip seperti sudah menjadi nama dalam cerita legenda, seperti Wong Fei Hung atau Lie Shu Wen, berkat apa yang sudah mereka capai.
Nyatanya, mereka justru tetap menulis dengan keinginan dan semangat tinggi. Penghargaan bukan tujuan akhir, tapi bonus yang melecut semangat untuk terus berbagi, sambil terus merawat ingatan, kalau tak boleh disebut melawan pikun, seperti kata mereka dalam sejumlah kesempatan.
Sebagai seorang anak ingusan (setidaknya menurut ukuran jam terbang mereka dalam berbagai hal) saya melihat Opa dan Oma Tjip sebagai sosok panutan ideal. Tak ada target selain berbagi hal positif, dan menulis dengan bebas sebagai diri sendiri.
Berapapun usianya, seperti apapun kondisinya, itu bukan hal penting. Tulisan tak pernah melihat tubuh, tapi menampilkan isi hati dan pikiran penulisnya secara jujur. Mereka sudah membuktikan itu.
Uniknya, mereka tak membiarkan diri menjadi nama dalam legenda, karena mau aktif berinteraksi dengan Kompasianers lain dari beragam minat, termasuk saya yang sering memarkir tulisan di kanal bola atau kanal lainnya. Tak ada sekat, karena mereka justru menjadi perekat.