Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilaporkan

Diperbarui: 26 Desember 2020   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Tribunnews.com)

Judul di atas terinspirasi dari quote penutup film Warkop DKI "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang". Dari konteks waktu dan permasalahannya, ada pendekatan berbeda yang digunakan, pada satu kegiatan yang disebut "Tertawa".

Maklum, Warkop DKI bersemi di era Orde Baru, sebuah era dengan larangan di sana-sini. Tertawa memang masih diperbolehkan, sebelum dilarang, khususnya jika lelucon yang disajikan dinilai "kelewat batas" oleh penguasa. Salah-salah, bisa kena ciduk.

Pada titik ekstrem, "tertawa" di masa Orde Baru bisa saja membuat seseorang "tinggal nama". Sesuatu yang mungkin kelewat horor untuk dibayangkan di era kiwari.

Di era kekinian, tertawa bukan lagi bersinggungan dengan "larangan", tapi "laporan". Tujuan akhirnya memang hotel prodeo juga, tapi ini lebih bersifat personal atau kelompok kecil, bukan "penguasa" seperti dulu.

Benar, di era reformasi, pemerintah memang tak seseram dulu dalam menyikapi urusan satu ini. Keseraman itu malah ditunjukkan kelompok atau orang tertentu.

Entah karena kotak tertawanya sedang dalam proses main tenis atau memang hilang digondol tikus, seperti nasib sembako bansos di dapur, sebuah candaan kadang bisa jadi bahan laporan polisi.

Minimal, jadi bahan debat kusir semalam suntuk, seperti gelaran wayang kulit. Alhasil, pak dalang bisa liburan sebentar bareng Upin dan Ipin. Betul betul betul.

Kalau candaan "bermasalah" itu ada di media sosial, perang komentar atau bully memang sudah jadi pemandangan biasa. Jejak digital itu kejam, jenderal!

Malah, ini jadi satu warna menarik di dunia maya kita, karena komentar warganet kadang jauh lebih menarik dari postingan aslinya.

Di sini, saya menemukan ada banyak komentator berbakat di negara berbunga ini. Meski begitu, secara aneh bin ajaib, profesi komentator di televisi atau media mainstream masih relatif sepi peminat.

Mungkin, mereka memang punya ilmu kesaktian ilmu teleportasi, atau meminjam pintu kemana saja dari kantong ajaib Doraemon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline