"Apa kamu tak punya rencana pulang?"
Itulah kalimat yang diucapkannya kepadaku, saat pagebluk mulai berkecamuk di ibukota. Mungkin, dia terheran-heran karena aku masih bertahan di sana, selagi banyak orang memilih pergi.
Andai aku punya banyak pilihan lebih baik saat pulang, aku sudah lama melakukan tanpa ragu. Tapi, di ibukota-lah hati ini terpaut, karena di saat yang lain hanya sebatas memberi angin surga, ia telah memberikan kesempatan nyata untuk hidup dan bekerja.
Ini memang tak mudah, tapi sangat membebaskan. Semua kujalani sendiri, bahkan saat masa sulit menyerang.
Aku sadar, pulang belum tentu menyelesaikan masalah. Apalagi, jika tanggung jawab malah ikut dibawa pulang.
Tapi, pada saat seperti inilah aku justru merasakan, seberapa hebat ketajaman hati seorang wanita. Satu pertanyaan itu ternyata menuntunku ke arah sana.
Benar, setelahnya semua berjalan sangat lancar, seperti sedang lewat jalan tol. Ada pilihan datang, untuk dipilih pada saatnya nanti.
Pertanyaan ini seolah berkata kepadaku, "Kamu harus pulang dan istirahat sejenak, sebelum kembali melangkah."
Jujur saja, momen ini membuatku melihat ulang semua yang sudah kujalani di ibukota, sekaligus membuktikan, hati seorang wanita adalah sebuah keajaiban spesial, saat digunakan dengan benar.
Seperti sebuah rekaman video, aku diajak menapak tilas semua sejak hari pertama. Ada keganjilan di sana-sini, seperti halnya kegembiraan. Ada kejujuran, meski tak selalu berwajah manis.
Aku ingat, ada banyak teman yang berkata,