Di antara sekian banyak poin yang menjadi polemik UU Cipta Kerja, pembahasan soal skema upah kerja per jam menjadi salah satu topik panas, yang ibarat dua sisi mata uang. Mengapa?
Karena, selain berpotensi menguntungkan pihak pemberi kerja, sistem ini bisa membuat seorang pekerja bekerja sangat keras, dalam artian terforsir secara fisik maupun mental. Ini berlaku bukan hanya bagi pekerja yang normal secara fisik, tapi juga pekerja berkebutuhan khusus.
Kebetulan, saya pernah mengalaminya di bulan April 2016 silam, saat bekerja di sebuah hotel kecil di sudut kota Yogyakarta.
Kala itu, saya mendapat kesempatan bekerja sebagai resepsionis. Momen ini datang, beberapa bulan setelah saya wisuda sarjana di penghujung tahun 2015.
Saya memutuskan menerimanya, setelah sempat mendapat penolakan di beberapa kesempatan, salah satunya karena faktor kelainan syaraf motorik bawaan yang saya punya.
Saya melihat ini sebagai satu batu loncatan, sekaligus pengalaman menarik. Maklum, pertambahan jumlah hotel dan homestay di Kota Gudeg saat itu sedang tumbuh cukup pesat.
Dengan posisinya sebagai Kota Pelajar dan destinasi wisata, Yogyakarta memang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan, keluarga pelajar, dan keluarga mahasiswa perantauan.
Situasi inilah yang membuat hotel punya peranan penting. Meski besaran UMR nya termasuk rendah di tingkat nasional, situasi ini bisa membaik jika pariwisata terus berkembang pesat.
Awalnya, pengalaman ini memang menarik. Sistem upahnya dibayar per jam, dengan tambahan upah 50% di jam lembur, dan ada pengalaman menarik, karena bertemu berbagai macam orang.
Fasilitas lainnya, saya diberi satu kamar tinggal dan satu hari cuti tiap bulan. Kamar ini biasa digunakan, jika saya kebetulan sedang mendapat jadwal shift kerja yang waktunya akan terlalu mepet jika saya harus pulang ke rumah.
Ini dapat menghemat waktu dan biaya, karena saat itu jarak antara rumah dan tempat kerja lumayan jauh. Dengan kondisi fisik saya, akan sangat riskan jika saya harus menanggung beban fisik terlalu berat.