Bicara soal sepak bola Brasil, tentunya tak lepas dari "jogo bonito" (bahasa Portugis: tarian indah) dari para seniman lapangan hijau. Tapi, ada satu hal yang kadang terlupakan darinya, yakni ginga, yang dalam bahasa Portugis berarti "ayunan".
Ginga (dibaca jing-ga) sering kali disebut sebagai identitas sepak bola Brasil, karena menjadi ruh "jogo bonito". Dalam konteks lapangan hijau, ginga adalah "kegembiraan (dalam bermain)".
Jadi, "jogo bonito" yang dijiwai "ginga" bisa diartikan sebagai "tartan indah nan gembira". Inilah mengapa aksi pemain Brasil di lapangan hijau terlihat menyenangkan untuk dilihat. Prestasi pun terus tercipta, baik secara individu maupun tim.
Mereka seolah tak pernah kehabisan ide untuk menampilkan sebuah keindahan saat bermain. Tengok saja Ronaldo, Ronaldinho dan Kaka, yang aksi individunya kerap mengundang decak kagum, begitu juga dengan para bintang jadul macam Pele, Zico atau Romario.
Para bintang ini, banyak menampilkan aksi-aksi jenius, yang juga menampilkan kejeniusan mereka. Disebut demikian, karena mereka mampu membuat sesuatu yang istimewa jadi terlihat biasa saja.
Tak heran, Tim Samba mampu meraih lima trofi juara Piala Dunia. Brasil juga merupakan negara kuat di sepak bola wanita.
Tapi, ibarat dua sisi mata uang, selain menampilkan sepaket keindahan dan kegembiraan, ginga juga menampilkan sisi negatif dalam bentuk budaya pesta. Budaya ini merupakan salah satu warisan kolonial Portugal di sana.
Sisi negatif ini muncul, umumnya karena faktor sosial. Seperti diketahui, meski angka pendapatan per kapita nya cukup tinggi, tingkat ketimpangan sosial dan ekonomi negara Amerika Selatan ini masih cukup tinggi.
Tak heran, tingkat kriminalitas dan kemiskinannya cukup tinggi. Di sini, sepak bola dianggap menjadi jalan keluar untuk memperbaiki nasib.
Mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, banyak yang bertransformasi menjadi pemain top, dan gila pesta akibat kaya mendadak. Mereka yang tidak siap, akan menjadi pesakitan, bahkan meredup sebelum waktunya.
Untuk kasus pertama, nama Romario sempat muncul karena kegemarannya mengikuti pesta, termasuk karnaval Rio de Janeiro. Meski sempat ditoleransi pelatih Johan Cruyff, peraih Ballon D'Or dan Piala Dunia 1994 ini akhirnya pergi dari Barcelona tahun 1995, karena hubungannya yang memburuk dengan sang pelatih.