Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Malaise

Diperbarui: 19 Agustus 2020   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (ft.com)

Bukan, ini bukan masa kelam bab pengantar Perang Dunia II. Inilah kata perangkum sempurna tahun kembar kali ini, dalam sebuah masa dimana teknologi digital sudah jadi nama tengah.

Aku ingat, detik awal tahun kembar ini dimulai, dengan hujan deras semalam suntuk di ibukota. Sebagian orang mungkin menganggap ini alamat banjir berkah. Ah, manusia memang cerdas dalam merencanakan dan menduga, seolah semua ada dalam genggaman.

Masalahnya, alam pun punya cara sendiri untuk berbicara dan memutuskan. Merekalah tuan rumahnya, manusia hanya titik kecil yang menumpang hidup di alam. Apapun polah sang alam, itu sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat.

Jadi, sangat wajar jika alam ternyata berkata lain. Hujan semalaman itu hanya pertanda awal datangnya masa sulit. Benar saja, segera setelah hujan reda, ibukota lumpuh diterjang banjir besar.

Aku ingat, air membeludak di mana-mana, merendam apapun yang dilalui, dan membatasi ruang gerak siapapun yang lolos darinya. Dalam polahnya yang merajalela, air seolah berkata,

"Sebenarnya aku ingin masuk kembali ke dalam tanah, karena ada yang menyuruhku melakukan itu, sambil antri dengan tertib. Aku hanya sedang bingung, karena tanah di sini hampir semua tertutup beton, sampah, dan aspal. Bagaimana aku bisa masuk, kalau semua pintunya ditutup rapat?"

Pada akhirnya, air memang benar-benar surut di bulan kedua. Sepertinya, semua akan kembali normal, sebelum masalah lain datang di bulan ketiga. Kali ini, ia berwujud pagebluk mematikan.

Benar, pagebluk yang dimulai dari Negeri Panda ini mampu melumpuhkan dunia. Gara-gara dia, semua serba dikerjakan, layaknya memainkan sebuah drone. Semua serba terbatas dan dibatasi begitu rupa.

Semua orang lalu mencoba berdaya dalam keterbatasan, meski ada yang makin terbatas, bahkan terpuruk. Jujur saja, pagebluk ini sungguh memuakkan.

Mereka yang mati karenanya memang menderita, tapi yang masih hidup tak kalah merana. Ada yang harus sangat berhemat, ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kebingungan harus tinggal di mana, ada juga yang kelaparan.

Bagi mereka yang kaya tujuh turunan, pagebluk ini mungkin kesempatan pamer paling sempurna. Pamer makanan enak, pamer kumpul-kumpul sosialita, atau pamer foto liburan, dalam bungkus rasa syukur. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, andai dunia sedang megap-megap sekalipun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline