Dalam masyarakat kita, ada satu persepsi kurang baik, tentang "berkunjung ke psikolog". Bukan tentang sosok psikolognya, tapi cara pandangnya yang dipersoalkan.
Seperti diketahui, salah satu persepsi umum (tapi salah kaprah) tentang "psikolog" adalah "tukang reparasi" bagi mereka yang punya masalah mental atau kejiwaan. Alhasil, orang yang berkunjung ke psikolog sering otomatis dianggap sedang "bermasalah" .
Persepsi ini membuat kegiatan "berkunjung ke psikolog" seolah menjadi sebuah tabu, untuk dibicarakan secara terbuka. Kasarnya, jika orang sampai mengetahui ini secara luas, bukan empati, tapi gunjingan yang didapat.
Pada kesempatan kali ini, saya coba memberanikan diri, untuk menceritakan satu pengalaman saya, saat berkunjung ke psikolog bulan Maret lalu. Setelah beberapa waktu belakangan sempat berpikir panjang, saya akhirnya memutuskan untuk menceritakan pengalaman ini, khususnya setelah melihat "realita" dari persepsi yang saya sebut di atas.
Pada awalnya, saya mulai mempertimbangkan untuk datang ke psikolog, karena saya mulai merasa "lelah", akibat terlalu banyak menjadi "pendengar", beserta gangguan di sana-sini, termasuk sikap hemat dan pengambilan keputusan, khususnya terkait hal-hal pribadi, yang terlihat tak biasa bagi lingkungan kerja saya.
Bagi saya, hal ini sangat krusial. Dalam posisi saya yang hidup sendiri di perantauan, dalam hal ini di Jakarta, memastikan saya mampu menabung untuk kebutuhan darurat, sambil memenuhi kebutuhan sehari-hari, adalah satu keharusan.
Jadi, saya tak keberatan terlihat sederhana karenanya. Meski begitu, disalahpahami karena hal ini tetaplah rawan terjadi, dan akan kurang mengenakkan untuk dialami.
Memang, waktu perlahan membuktikan, keputusan-keputusan yang saya ambil tepat. Kondisi tubuh tetap sehat, tidak kebanjiran di puncak musim hujan, dan masih bisa "survive" meski gaji terdampak pandemi COVID-19, adalah contoh hasilnya.
Tapi, rasa "lelah" yang terus menghinggapi itu, akhirnya menghasilkan sepasang keinginan: Saya ingin bicara, dalam artian didengar sampai tuntas, dan mengidentifikasi, apakah lingkungan saya, atau saya yang bermasalah. Identifikasi ini penting, supaya saya setelah ini tahu harus berbuat apa.
Pada prosesnya, saya sempat disarankan untuk beryoga atau semacamnya. Tapi, semua saran itu saya tolak, karena saya sadar, saya perlu didengar, saya perlu mengeluarkan dan membuang semua beban ini sampai tuntas, bukan menahannya.
Berangkat dari situlah, saya memilih ke psikolog, karena mereka mampu menempatkan diri di posisi sejajar sebagai lawan bicara, dan memang memahami secara keilmuan, baik secara teoritis, empiris, maupun praktis.
Di sini, saya melihat psikolog sebagai pilihan paling masuk akal, karena tidak semua teman punya waktu luang untuk bertemu, atau sebatas bertelepon. Semua punya kesibukan dan kehidupan masing-masing, yang tetap harus dihormati.