Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sebuah Kisah Nostalgia

Diperbarui: 6 Juni 2020   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Momen Wisuda, Tahun 2015 (Dokpri)

Bicara soal bulan Mei-Juni, kebanyakan orang biasanya akan langsung menyebutnya sebagai "musim perayaan kelulusan", entah di tingkat sekolah maupun kuliah. Momen ini dianggap sangat penting, karena menjadi "milestone" buat setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Ibarat sebuah tim sepak bola, momen wisuda adalah momen pengalungan medali juara dan penyerahan trofi juara kepada tim pemenang. Momennya mungkin cuma sekejap, tapi memori yang tersimpan di dalamnya akan terus terpatri dalam ingatan.

Ada momen jatuh bangun, ada momen membanggakan, dan sebagainya. Semua itu ditutup dengan manis pada momen wisuda. Tak heran, dalam beberapa tahun belakangan, istilah "wisuda" juga digunakan di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari PAUD sampai SMA, bukan hanya universitas.

Tapi, khusus di tahun 2020, momen "sakral" satu ini sedikit berbeda. Tak ada seremoni meriah, tak ada selebrasi gila-gilaan, apalagi foto "postgraduate" yang mahal itu. Karena imbas pandemi Corona, wisuda yang dilakukan umumnya berupa wisuda virtual.

Uniknya, situasi ini membuat banyak orang, khususnya yang wisuda dalam situasi "normal", atau sebelum tahun 2020, memposting foto wisudanya di media sosial. Selain foto, ada juga "caption" nostalgik, dengan pesan pemberi semangat kepada "Class of 2020".

Saya sendiri akhirnya "tergoda" untuk bernostalgia mengingat "momen masa muda" itu, karena ada begitu banyak momen naik turun di dalamnya. Persis seperti "roller coaster".

Memori wisuda pertama, yang muncul di ingatan saya terjadi di tahun 2008, tepatnya saat lulus SMP. Saat itu, saya hanya mengingat momen itu sebagai akhir dari sebuah awalan sulit di kota pelajar.

Jujur, saat itu saya merasakan, level kesulitan di kota pelajar sangat berbeda jauh dengan Wonosobo, kampung halaman saya. Ibarat sebuah kompetisi sepak bola saya seperti langsung melompat jauh, dari Liga Indonesia yang apa adanya, ke Liga Spanyol yang penuh trik dan kompetitif.

Kesulitan makin lengkap, karena selain harus lebih serius belajar, pada beberapa momen, saya harus mendapat "bully" dari segelintir oknum usil, akibat disabilitas fisik yang saya punya sejak lahir. Masalah ini juga yang membuat saya sempat kesulitan, saat mengikuti seleksi masuk SMA.

Di SMA, akibat masalah "bullying" itu, pihak sekolah sempat "merehabilitasi" saya, dengan menaruh saya di sebuah kelas, yang tak ada seorangpun teman satu SMP saya di sana. Metode ini cukup efektif, karena saya bisa membaur dengan cair di kelas. Grafik nilai saya cenderung meningkat, bahkan selalu aman.

Rasa nyaman ini juga, yang membuat saya (akhirnya) berani protes, saat serangan "bully" kembali datang. Meski awalnya sempat terkejut, para pembully ini akhirnya meminta maaf, dan masa kelulusan SMA saya berakhir ceria di tahun 2011. Meski begitu, pada hari pengumuman kelulusan, saya tidak ikut ritual "coret-coret" baju seragam di sekolah, karena saya tidur di rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline