Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Berdamai dengan Corona? Yang Benar Saja!

Diperbarui: 18 Mei 2020   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas.com)

Judul di atas, adalah reaksi saya, terhadap istilah rasa jargon, yang digunakan pemerintah, khususnya pada masa pandemi Corona. Sekilas, istilah "berdamai dengan Corona" ini terdengar menyejukkan, karena ada kata "damai" di sana.

Tapi, jujur saja, istilah "berdamai" dengan Corona ini terdengar ceroboh. Tak heran, banyak orang terjebak dalam perdebatan kosong tanpa ujung, sama seperti saat perdebatan "mudik atau pulang kampung" mengemuka beberapa waktu lalu. Tapi, jika melihat situasinya, istilah "berdamai" ini memang cukup mengherankan, kalau tak mau dibilang menjengkelkan. Bagi saya, istilah ini kurang bijaksana.

Seperti diketahui, virus Corona telah menghasilkan dampak negatif sangat luas. Daya rusaknya pun "bukan kaleng-kaleng", karena terbukti mampu melumpuhkan berbagai sektor kehidupan, dan mencabut nyawa banyak orang di seluruh dunia.

Pertanyaannya, berapa jumlah negara di seluruh dunia, yang terdampak pandemi Corona? Ratusan! Berapa banyak orang di seluruh dunia yang terdampak (meski tidak terinfeksi virus Corona)? Miliaran!

Jadi, kata "berdamai" jelas rawan misinterpretasi. Memang, saat ini kita dipaksa hidup berdampingan dengan virus Corona, yang masih merajalela. Tapi, bukan berarti kita bisa langsung memperlakukannya sebagai teman, kecuali jika kita ingin terjangkit olehnya. Apalagi, kerusakan yang dihasilkannya terbukti sangat masif.

Di sini, saya lebih suka menggunakan istilah "move on" dari virus Corona. Bukan karena virus Corona adalah mantan pacar, tapi lebih karena mengingat daya rusak yang dihasilkannya, dan proses pemulihan yang perlu dijalani setelahnya.

Jelas, ada rasa sakit, penderitaan, bahkan trauma, yang bisa jadi ada dalam diri banyak orang, akibat pandemi Corona. Jadi, perlu waktu tersendiri, untuk bisa sembuh darinya. Tentunya, setiap orang pasti punya durasi masing-masing, untuk bisa merelakan dan "move on" dari sana.

Dalam situasi seperti ini, "move on" seharusnya bisa menjadi kata kunci vital. Bukan karena kita lemah, tapi karena "life must go on". Kita harus tetap waspada dalam situasi sekarang, sambil bersiap diri, supaya siap menghadapi masa-masa tak kalah sulit, khususnya setelah pandemi Corona selesai.

Di sisi lain, "move on" juga merupakan sikap penting, karena selain berfungsi "mengikhlaskan" semua yang sudah lewat, "move on" juga berfungsi sebagai media pembelajaran. Kita memang (sudah seharusnya) mengikhlaskan semua ini, tapi bukan berarti kita melupakan semuanya, dan tak belajar darinya. Dengan harapan, kita bisa lebih baik lagi di masa depan. 

Tentunya, ini relevan dengan situasi sekarang. Jika kita mau belajar dari pengalaman saat ini, kita bisa menghadapi dengan tenang, dan mengatasi dengan lancar, jika terjadi masalah serupa di masa depan.

Jadi, daripada kita terlalu asyik membuat istilah membingungkan, dan fokus memperdebatkannya, sudah saatnya kita mulai "move on", dan mulai bersiap menghadapi masa-masa setelah pandemi Corona selesai. Akan sangat memalukan, jika kita masih sibuk berdebat soal istilah, disaat negara lain sudah mulai sibuk bersiap menjalani hidup setelah pandemi Corona.

Pertanyaannya, sudah siapkah kita "move on" dari virus Corona?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline