Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Terulangnya Sebuah Fenomena Lama

Diperbarui: 17 Agustus 2019   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Indosport.com)

Dalam sepak bola, gonta-ganti pelatih menjadi satu hal biasa. Ada yang diganti karena gagal memenuhi ekspektasi, ada juga yang mundur karena memasuki masa pensiun (seperti pada kasus Sir Alex Ferguson di Manchester United) atau mencari tantangan baru.

Untuk penyebab yang disebut pertama, ini memang bagian dari resiko pekerjaan sebagai pelatih sepak bola, dan biasanya sudah disepakati saat sang pelatih mulai bertugas. Hanya saja, jika frekuensi angka pemecatan pelatih cukup tinggi, maka ini terlihat tidak biasa, apalagi jika waktunya cukup berdekatan.

Kebetulan, fenomena "pemecatan massal" ini sedang terjadi di kompetisi Liga 1 2019, yang sedang memasuki penghujung putaran pertama. Dari 18 klub peserta Liga 1 2019, 9 klub diantaranya sudah memberhentikan pelatih mereka, karena dinilai gagal memenuhi ekspektasi. Mereka adalah:

1. Aji Santoso - Persela Lamongan
2. Syafrianto Rusli - Semen Padang
3. Jan Saragih - Perseru Badak Lampung FC
4. Luciano Leandro - Persipura Jayapura
5. Jacksen F. Tiago - Barito Putera
6. Ivan Kolev - Persija Jakarta
7. Jafri Sastra - PSIS Semarang
8. Djajang Nurdjaman - Persebaya Surabaya
9. Alfredo Vera - Bhayangkara FC

Nama-nama diatas masih bisa bertambah, karena ada juga pelatih yang berada dalam tekanan, misalnya Robert Rene Alberts (Persib Bandung), dan Julio Banuelos (Persija Jakarta).

Jika hanya melihat dari perspektif "budaya" sepak bola nasional, tentunya ini adalah fenomena biasa. Fenomena ini juga merupakan buah dari orientasi jangka pendek, yang masih menjadi "mindset" sepak bola nasional, tempat dimana bongkar pasang tim terjadi tiap tahun.

Uniknya, hampir setiap klub peserta Liga 1 memasang target berprestasi setinggi mungkin di liga. Inilah yang membuat setiap pelatih punya tekanan kerja begitu tinggi. Hal ini juga membuat kompetisi liga kita terlihat semarak, meski grafik prestasi tiap tim pesertanya seperti "roller coaster" tiap tahun.

Tapi, dari perspektif manajemen sepak bola modern yang sudah profesional, ini adalah satu penyakit, yang jika terus dibiarkan akan merusak. Memang, tak ada tim yang tak mau menang, tak ada juga tim yang memasang target terdegradasi di akhir musim. 

Hanya saja, setiap tim harusnya bisa berpikir realistis. Bagaimanapun, dalam sebuah pertandingan, pilihannya bukan hanya menang, ada juga hasil imbang dan kekalahan yang kadang harus diterima.

Maka, sebuah klub kadang harus berani memasang target minimal paling realistis, misalnya tidak terdegradasi di akhir musim. Supaya, mereka tak langsung memecat pelatih begitu hasil buruk didapat, karena mengganti pelatih belum tentu bisa memperbaiki keadaan secara instan, kadang itu justru bisa memperburuk keadaan. Jika timnya sudah bobrok sejak awal, pelatih kelas dunia sekalipun akan gagal total. 

Di sini, klub seharusnya mulai memikirkan target prestasi jangka panjang, lengkap dengan perencanaan dan eksekusi yang rapi. Jika tidak ada, mereka tak ada bedanya dengan klub amatir yang ikut turnamen sepak bola tarkam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline