Hampir sempurna. Begitulah kira-kira gambaran sederhana, dari kiprah Manchester City sepanjang musim 2018/2019. Gambaran ini didapat, setelah melihat kiprah Sergio Aguero dkk di kompetisi domestik dan Eropa.
Di tingkat domestik, tim asuhan Pep Guardiola ini sukses menyapu bersih semua gelar juara. Setelah mempertahankan trofi Piala Liga Inggris (menang adu penalti atas Chelsea di final) dan Liga Primer Inggris, The Eastlands menggenapi raihan "Treble Winner" domestik, dengan meraih trofi Piala FA, setelah menghajar Watford 6-0 di final. Gol-gol City dalam laga di Stadion Wembley ini dicetak oleh David Silva, Kevin De Bruyne, Raheem Sterling (2 gol), dan Gabriel Jesus (2 gol).
Capaian "Treble Winner" domestik ini sekaligus menegaskan kesempurnaan City di level domestik. Sebelumnya, di awal musim 2018/2019, City sukses meraih trofi Community Shield. Jika gelar ini juga dihitung, maka City bukan hanya meraih "Treble Winner", tapi "Quadruple", alias empat trofi domestik dalam semusim. Sebuah musim yang sempurna. Prestasi ini sekaligus menjadi kado perpisahan manis City buat Vincent Kompany. Karena, tak lama setelah final Piala FA, sang kapten tim City ini memutuskan pergi.
Tapi, jika ditambah dengan performa City di Liga Champions musim ini, kesempurnaan mereka terhenti di taraf "hampir sempurna". Karena, langkah mereka terhenti secara dramatis di babak perempatfinal, setelah kalah agregat gol tandang atas Tottenham Hotspur. Situasi terasa makin pahit buat City, karena Spurs akhirnya melaju ke final Liga Champions, setelah menyingkirkan Ajax Amsterdam di semifinal, berkat unggul agregat gol tandang.
Kegagalan di Liga Champions ini, mungkin terasa sangat getir buat City, karena mereka bisa saja melaju lebih jauh, andai gol Raheem Sterling di menit akhir tak dianulir karena offside. Beruntung, setelah kegagalan ini, mereka mampu menjaga fokus dan meraih trofi domestik.
Secara kasat mata, selama dilatih Pep Guardiola dalam tiga tahun terakhir, City memang terus mengalami peningkatan di berbagai aspek. Setelah sempat nirgelar di musim 2016/2017, Pep dan City sukses meraih berbagai trofi di level domestik, dan menjadi tim pertama sejak Manchester United (2006/2007-2008/2009) yang mampu mempertahankan trofi liga Inggris.
Dari sini saja kita bisa melihat, seberapa besar ambisi City meraih trofi secara kontinyu tiap musimnya. Kehadiran Pep yang perfeksionis merepresentasikan ambisi besar tersebut.
Hanya saja, berhubung City tidak (atau belum) punya sejarah kesuksesan seperti Manchester United atau Liverpool, Pep lalu membangun City secara perlahan. Dimulai dari menetapkan filosofi bermain tim, Pep lalu membangun tim berdasarkan filosofi bermain tersebut. Dari sinilah City dapat mulai membiasakan diri meraih trofi secara rutin tiap tahun, sekaligus membangun dominasi.
Untuk level domestik, pekerjaan Pep terlihat mudah, karena City masih punya pemain berpengalaman macam Vincent Kompany, Sergio Aguero, dan Fernandinho. Mereka sukses meraih berbagai trofi domestik bersama City, jadi mereka tahu, mentalitas macam apa yang harus dibiasakan.
Tapi, untuk level Eropa, progres perkembangan City tergolong lambat. Karena, City masih tergolong "hijau", khususnya di ajang Liga Champions. Jadi, perlu waktu untuk membuat City terbiasa dengan tekanan tinggi khas Liga Champions Eropa. Jika sudah terbiasa, barulah mereka layak untuk memasang target tinggi tiap musimnya.