Habis terang terbitlah gelap. Begitulah kira-kira gambaran sederhana dari situasi yang sedang dialami Manchester United (MU) bersama Ole Gunnar Solskjaer. Seperti diketahui, Ole mengawali tugasnya di Old Trafford sebagai pelatih pinjaman dari klub Molde (Norwegia), dengan dirinya datang sebagai pengganti sementara Jose Mourinho yang dipecat.
Awalnya, semua tampak begitu menjanjikan. Dengan statusnya sebagai legenda klub, kedatangan Ole disambut gembira oleh Manchunian.
Banyak juga yang berharap, Ole bisa menjadi sosok "supersub" di kursi pelatih MU, seperti peran "supersub" yang dulu sukses dijalaninya di MU semasa bermain dulu.
Di ruang ganti, Ole mampu membuat situasi internal tim menjadi kondusif. Alhasil, para pemain mampu menampilkan performa bagus di lapangan, sejalan dengan rangkaian hasil positif yang diraih MU sejak dilatih pria Norwegia ini.
Tak heran, Ole lalu diganjar kontrak permanen selama tiga tahun, setelah ia membuat MU mampu bersaing di posisi empat besar klasemen Liga Inggris, dan lolos ke babak perempatfinal Liga Champions, setelah mendepak PSG secara dramatis.
Progres positif juga ditampilkan di Piala FA, dengan MU melaju ke babak perempatfinal. Di sini, manajemen MU dan Manchunian agaknya melihat Ole adalah sosok "supersub", yang juga menjadi simbol harapan baru buat MU.
Sayangnya situasi justru berubah, segera setelah status Ole dipermanenkan. Alih-alih mendapatkan "habis gelap terbitlah terang", MU dan Manchunian justru harus mengalami "habis terang terbitlah gelap".
Karena saat ini MU justru akrab dengan hasil buruk. Di Liga Champions, mereka takluk dengan skor agregat 4-0 atas Barcelona yang dimotori Lionel Messi.
Di liga, mereka mulai tertinggal dalam pacuan di posisi empat besar dan tersingkir di perempatfinal Piala FA setelah takluk 1-2 atas Wolverhampton.
Situasi makin runyam, karena setelah kalah 0-2 atas Manchester City di laga tunda tengah pekan, MU akan menghadapi tantangan serius Chelsea di akhir pekan ini.