Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sebuah Refleksi Paskah

Diperbarui: 21 April 2019   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi: Tribunnews.com)

Bicara soal era kekinian, satu hal yang hampir tak terpisahkan darinya adalah hal-hal bersifat eksistensial, dalam wujud aktualisasi diri. Dengan semakin membudayanya penggunaan media sosial, aktualisasi diri perlahan menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer manusia kekinian, setara dengan sandang, pangan dan papan.

Hebatnya, aktualisasi diri mampu menjadi satu kebutuhan primer di berbagai aspek, bahkan termasuk dalam hal beribadah di gereja. Fenomena ini antara lain dapat kita lihat dari kebiasaan sebagian orang yang rutin mengunggah kegiatannya di gereja, entah hanya beribadah, atau melakukan tugas pelayanan, satu hal yang perlahan mulai membudaya.

Di minggu-minggu biasa, intensitasnya tentu berbeda dengan di hari raya seperti Paskah, yang bulan ini dirayakan umat Kristiani di seluruh dunia. Karena, tak ada sesuatu yang sangat spesial. Sebatas update foto dengan sedikit bumbu caption, biasa saja.

Sementara itu, di masa Paskah, segalanya tampak begitu berbeda. Ada penampilan istimewa, karena ini merupakan hari istimewa. Ada begitu banyak unggahan foto spesial, lengkap dengan untaian kata-kata indah dan ucapan Selamat Paskah. Banyak orang melakukannya, seolah itu sebuah lomba, dan cara "merayakan Paskah" yang baik dan benar.

Sekilas, tak ada yang salah dengan ini. Tapi, jika Paskah hanya disambut dengan euforia, dan hasrat aktualisasi diri berlebih, maka ia tak lagi layak untuk dirayakan. Karena, ini jelas mengingkari hakekat Paskah, sebagai sebuah momen spiritual. Dimana, Yesus rela menderita sengsara dan mati di kayu salib, sebelum akhirnya bangkit pada hari ketiga.

Jelas, ini sama sekali bertolak belakang dengan euforia dan hasrat aktualisasi diri berlebih manusia era kekinian, karena Yesus justru menunjukkan teladan adiluhung, dengan rela mengosongkan diri, memikul salib dalam penderitaan luar biasa berat, dan menanggalkan sejenak ke-Tuhan-anNya di kayu salib, demi menebus dosa manusia.

Fenomena semacam ini, memang rutin terjadi di hari raya keagamaan seperti Paskah tiap tahunnya. Di satu sisi, ini dapat dimaklumi, karena manusia sendiri adalah makhluk fana, yang hidup di alam fana. Jadi, selama manusia masih hidup, wajar jika hal-hal bersifat eksistensial selalu ada bersamanya, kapanpun dan di manapun. Apalagi, tak semua orang bisa mencapai level yang memadai, untuk merayakan Paskah, sebagai sebuah momen spiritual, yang dapat semakin mendekatkan dirinya (secara personal) kepada Tuhan.

Maka, di sinilah gereja seharusnya bisa berperan, sebagai "jembatan penghubung" antara manusia dengan Tuhan. Meskipun, tugas ini sebenarnya bukan perkara mudah. Butuh waktu dan kesabaran ekstra dalam membangun kesadaran batin untuk memaknai ibadah sebagai sebuah "kesadaran", bukan lagi sebatas "kebutuhan" apalagi "sarana meminta-minta" apapun kepada Tuhan. Mengapa ini sangat penting?

Karena, jika ibadah tak dimaknai sebagai sebuah "kesadaran", ia hanya akan membuat manusia semakin egois, bahkan kompulsif, karena ia selalu ingin mendapatkan hal lebih. Di sini, Tuhan tak lagi diposisikan sebagaimana mestinya, karena hanya dijadikan sebagai sarana pengabul permintaan.

Maka, penting bagi gereja untuk menanamkan "kesadaran" ini dalam segala hal. Tak perlu mendewakan penampilan luar serba spektakuler, karena ibadah bukan ritual motivasi tanpa makna, apalagi konser band atau hura-hura. Tak perlu juga terlalu mengedepankan kuantitas jemaat, karena ibadah sejatinya adalah sebuah media untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang (dalam hal mendekatkan dirinya kepada Tuhan), dengan dilandasi kesadaran batiniah yang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline