Bagi saya, dua kata di atas adalah dua hal yang saling berhubungan, khususnya dalam posisi saya sebagai seorang penyandang disabilitas. Tak bisa dipungkiri, "celebral palsy" (kelainan syaraf motorik bawaan) yang saya derita sejak lahir, membuat saya otomatis menyandang status sebagai seorang difabel, lengkap dengan segala keterbatasannya.
Mau tak mau, saya harus beradaptasi dengan keadaan, meski apa yang saya lakukan tak sesempurna mereka yang normal secara fisik. Tak jarang, langkah penyesuaian yang saya lakukan terlihat tak biasa di mata mereka. Misalnya, saat di tempat kursus Bahasa Inggris, saya selalu melepas alas kaki, untuk mengakali lantai yang licin dan keseimbangan badan saya yang buruk. Contoh lainnya, saat berangkat ke tempat kursus atau sebaliknya, saya memilih menggunakan moda transportasi daring. Padahal, saat sekolah dan kuliah dulu, saya terbiasa memakai moda transportasi umum.
Dari luar, apa yang saya lakukan ini mungkin memberi kesan "manja" dan "malas". Tapi, saya melakukan itu sebagai langkah penyesuaian. Pada contoh pertama, saya menerapkan prinsip "safety first", untuk mencegah risiko cedera karena jatuh akibat hilang keseimbangan. Di sini, saya banyak belajar dari pengalaman cedera, terutama di kaki, yang dulu sering saya alami. Akibat cedera, saya menjadi lebih terbatas dari biasanya. Maka, saya perlu melakukan langkah pencegahan.
Sedangkan, pada contoh kedua, saya menyiasati semakin padatnya lalu lintas di Yogyakarta (daerah tempat saya berdomisili), membuat moda transportasi umum tak lagi efektif. Selain itu, saya harus memastikan, saya bisa mengikuti kelas kursus tanpa kelelahan di jalan, entah karena rute yang jauh, atau harus berdesakan dengan penumpang lainnya. Ini penting karena apa yang saya pelajari di kelas membutuhkan perhatian khusus.
Sikap adaptif ini saya dapat, dari pengalaman saya bersekolah di sekolah umum sejak playgroup hingga SMA, dan berlanjut hingga ke jenjang kuliah. Pada awalnya, saya sendiri sempat tak yakin. Tapi, keadaanlah yang akhirnya meyakinkan saya untuk melakukannya tanpa malu-malu. Untunglah, teman-teman dan para guru atau dosen bisa memakluminya. Pelan-pelan, saya tak lagi merasa sendirian, meski sebenarnya saya kerap menjadi satu-satunya difabel diantara mereka yang normal secara fisik.
Sikap adaptif ini, juga menjadi bekal berharga buat saya, saat mulai hidup bekerja dan menjadi anak kost di ibukota, tepatnya sejak awal Februari 2019 silam. Perlu adaptasi ekstra di awal, tapi syukurlah kini semua lancar-lancar saja.
Pada akhirnya, selain bisa menerima keterbatasan yang saya miliki, sikap adaptif ini memberi saya satu pelajaran berharga. Apapun "Kebutuhan khusus" seorang difabel, semua akan baik-baik saja jika mereka mau (setidaknya sedikit saja) menyesuaikan diri dengan keadaan. Jika kita mau menyesuaikan diri dengan lingkungan, maka pada saatnya nanti, lingkungan akan gantian menyesuaikan diri dengan keadaan kita.
Ibarat dua sisi mata uang, di satu sisi, disabilitas memang bisa menjadi pembatas. Tapi, di sisi lain, disabilitas mengajak kita untuk mau melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Bukan untuk keren-kerenan, tapi supaya kita bisa lebih adaptif dengan keadaan saat diperlukan. Dari disabilitas, kita bisa melihat bersama, tak selamanya kekurangan itu ada untuk dihilangkan. Kadang, kita bisa menjadikannya teman, jika kita mau menyiasatinya. Karena, disabilitas pada dasarnya adalah sebuah seni menyiasati keadaan dalam keterbatasan.
*) Tulisan ini telah diterbitkan di Buletin Bumi Setara edisi Desember 2018 oleh penulis, dengan penyesuaian seperlunya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H