Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Perlunya "Diet Politik" di Tahun Politik

Diperbarui: 8 Januari 2019   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pixabay)

Jika Anda membaca judul di atas, sekilas, istilah "Diet Politik" tampak membingungkan. Apalagi, sekarang ini negara kita sedang memasuki tahun politik.  

Seperti diketahui, pada tahun 2019 ini akan diselenggarakan Pemilu (Pileg dan Pilpres) serentak. Otomatis, informasi soal politik akan berseliweran di sana-sini, dengan jumlah luar biasa banyak, entah di media cetak, media sosial, maupun elektronik

Informasi melimpah inilah, yang membuat "Diet Politik di Tahun Politik" terlihat mustahil untuk dilakukan. Tapi, jika melihat esensi dari Pemilu itu sendiri, yakni demokrasi, "Diet Politik di Tahun Politik" adalah satu hal yang justru harus dilakukan.

Cara paling sederhana dari "Diet Politik" ini adalah mempelajari rekam jejak tokoh yang akan dipilih, berikut plus-minusnya. Dengan melimpahnya informasi di era kekinian, "Diet Politik' bisa kita lakukan, dengan memilah sumber informasi acuan. 

Di sini, kita hanya perlu menggunakan sumber-sumber kredibel, dengan menepikan sumber abal-abal dan hyper-partisan. Jika kita bisa melakukannya dengan baik, kita tak akan termakan "hoax" dengan mudah.

Cara lainnya, kita perlu bersikap "to the point", dengan hanya mengetahui siapa saja kandidat yang akan bertanding, dan kapan jadwal debat resminya. 

Tak perlu mengikuti segala drama dan kegaduhan yang ada, karena sebenarnya itu tak penting untuk diikuti. Lagipula, apa gunanya mengorbankan hal penting (seperti waktu, pekerjaan dan relasi) hanya demi mengikuti hal tak penting?

Hal ini penting, karena Pemilu pada dasarnya adalah satu proses pendidikan politik, bukan pembodohan politik. Jelas, lewat Pemilu, masyarakat seharusnya bisa dicerdaskan, dengan dibiarkan bebas memilih secara langsung, dengan melihat fakta, bukan informasi dengan sumber "katanya".

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah, melihat situasi dengan cermat, sebelum menentukan pilihan. Misalnya, jika ada kandidat yang melakukan "serangan fajar", kita bisa menerima pemberiannya, tapi tidak memilihnya. 

Karena, logika dasar mereka sangat buruk. Hadiah "serangan fajar" bisa habis dalam sekejap, sementara satu periode jabatan baru habis dalam waktu lima tahun. Jelas tak sebanding kan?

Kita juga bisa melakukan komparasi sederhana, dengan melihat kubu kandidat mana yang paling sering membuat kegaduhan atau berita bohong. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline