Jelang laga fase grup Liga Champions melawan Red Star Belgrade (Serbia), Rabu, (7/11, dinihari WIB) Liverpool dipastikan tak akan diperkuat Xherdan Shaqiri (27). Padahal, gelandang berpostur gempal asal Swiss ini sebenarnya sedang dalam kondisi fit, dan tak sedang menjalani skorsing.
Performanya pun belakangan ini cukup baik, dengan dirinya mulai rajin membuat gol dan assist. Tapi, karena faktor nonteknis, pelatih Jurgen Klopp memutuskan untuk tidak memasukkan Shaqiri ke dalam daftar pemain Liverpool, yang akan bertanding di Stadion Rajko Mitic, markas Red Star Belgrade. Meski berisiko membuat opsi pilihan pemain tengah Liverpool menjadi berkurang, Klopp menganggap hal ini perlu dilakukan, terutama jika melihat situasi saat ini.
Maklum, Liverpool membutuhkan kemenangan di laga ini, untuk menjaga peluang lolos ke babak selanjutnya. Apalagi, setelah menghadapi Red Star, Liverpool akan menghadapi Napoli dan PSG di dua laga tersisa. Jadi, wajar jika Liverpool membidik kemenangan atas tim juara Liga Champions musim 1990/1991 ini.
Diatas kertas, ini bukan target muluk, karena pada akhir Oktober lalu, Liverpool sukses menggasak Red Star dengan skor telak 4-0 di Stadion Anfield. Jadi, untuk mencegah gangguan tak perlu, Shaqiri tak ikut dibawa ke Serbia. Supaya, Shaqiri tak menjadi "sasaran tembak" suporter Red Star.
Shaqiri sendiri berpotensi menjadi "sasaran tembak" suporter Red Star, karena pada Piala Dunia 2018 lalu, dirinya (bersama Granit Xhaka, gelandang Arsenal), pernah melakukan selebrasi, usai mencetak gol ke gawang Serbia, dengan gestur tangan membentuk gambar elang, seperti pada logo bendera Albania. Kebetulan, Shaqiri dan Xhaka memang berdarah Kosovo-Albania, etnis yang di masa lalu berkonflik dengan Serbia, tepatnya pada masa perang saudara saat Yugoslavia bubar di awal dekade 1990-an.
Tak heran, timnas Serbia pun mengajukan protes resmi ke FIFA. Karena, selebrasi Shaqiri dan Xhaka dinilai bermuatan politis, dan jelas-jelas melanggar aturan FIFA mengenai larangan untuk menampilkan hal-hal bermuatan politis dalam sebuah pertandingan sepak bola. Keduanya pun lalu sama-sama didenda FIFA sebesar 10 ribu Franc Swiss (sekitar Rp 153 juta).
Tapi, meski Shaqiri dan Xhaka sudah didenda FIFA sebesar 10 ribu Franc Swiss (sekitar Rp 153 juta), menyusul selebrasi gol kontroversial mereka, keduanya sudah terlanjur dicap buruk oleh publik Serbia. Tak heran, mereka bersiap memberi "sambutan hangat" kepada Shaqiri, saat Red Star menjamu Liverpool di Belgrade. Untunglah, Klopp sudah mengantisipasi hal ini, dengan "meliburkan" Shaqiri, jadi "sambutan hangat" suporter Red Star urung didapat Shaqiri.
Menariknya, absensi Shaqiri, menyusul dampak selebrasi gol kontroversial yang dilakukannya di Piala Dunia 2018 lalu, menjadi contoh aktual, bahwa meski bisa berkaitan secara tak langsung, sepak bola dan politik pada dasarnya adalah dua alam berbeda. Keduanya tak boleh dicampur aduk seenaknya. Karena, tindakan itu mengingkari nilai universal dalam sepak bola. Selain itu, pencampuran sepak bola dan politik secara sembarangan, akan menghasilkan dampak negatif yang dapat merugikan semua pihak terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H