Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Cintanaccio

Diperbarui: 25 September 2018   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Intisari.grid.id

Cinta, inilah kata dengan berjuta makna, berjuta cerita, dan berjuta rasa. Entah berapa banyak lagu bertema cinta yang tercipta, begitu juga dengan film masterpiece atau bahkan opera sabun kelas teri yang tayang silih berganti. Semua terlihat sangat indah, romantis, dan mudah dijalani. Seolah semua orang bisa mengalami hal serupa dalam waktu dekat.

Bagi sebagian orang, mungkin kisah cinta seperti di film adalah penyemangat hidup. Karena semua kemungkinan kelihatannya bisa terjadi begitu saja. Ada kisah ala Cinderella, termasuk versi "Cinderella Boy"-nya, atau kisah Si Sempurna dan Si Payah, yang selalu jadi penyemangat bagi mereka yang dianggap "buruk rupa atau di bawah rata-rata". Entah kenapa, mereka selalu terlihat begitu bersemangat memperjuangkan cintanya. Tak peduli apapun yang terjadi, kalimat "Impossible is nothing" selalu bisa menjadi pembakar semangat.

Sayangnya, aku tak pernah merasakan semangat itu. Bagiku, cinta itu derita tanpa akhir, seperti kata pepatah.
Mungkin kalian akan berkata, aku ini sungguh suram, tanpa harapan. Tapi, bagiku, cinta adalah kisah kegagalan demi kegagalan, tragedi demi tragedi.

Dulu, aku pernah punya semangat '45 seperti kalian. Aku selalu berani bermain indah layaknya Tim Total Football yang melegenda itu. Jelas, pria harus agresif demi memperjuangkan cintanya. Semua upaya sudah kulakukan, mulai dari yang sederhana sampai luar biasa absurd.

Aku ingat, aku pernah memberi Si Dia jawaban gratis saat ujian semester. Aku pernah rela diperlakukan bak permen karet olehnya setiap hari. Aku ingat, aku pernah menjadi tempat curhatnya, meski harus duduk manis selama berjam-jam. Mungkin itu semua terlihat absurd, tapi aku benar-benar merasa bahagia saat melakukannya. Pulang malam sudah biasa, kantong jebol bukan masalah. Selama bisa melihatnya di kampus, dengan ia memamerkan senyum manisnya sekali saja, aku sudah merasa sangat bahagia.

Mungkin, aku sekilas sudah memenuhi semua syarat untuk menaklukkan hatinya. Aku pun sempat merasa sangat optimis, semua akan berakhir seperti harapan. Tapi, ternyata harapan tinggal harapan, karena di saat itulah dia melancarkan serangan balik cepat. Gilanya, meski hanya sekali, serangan baliknya begitu mematikan, layaknya tim Italia dengan "catenaccio"-nya. Dalam kasus percintaan, jurus itu layak kita sebut sebagai "cintanaccio", karena cara kerjanya kurang lebih sama dengan "catenaccio": bertahan serapat mungkin, dan mengantam lewat serangan balik cepat nan mematikan. Cukup dengan satu atau dua kalimat penolakan yang diucapkannya, semua hancur lebur dalam sekejap.

Aku ingat, dia hanya berkata: "Aku tak ingin menyakiti perasaanmu, aku sudah terlanjur nyaman jadi temanmu". Tapi, apa yang dia katakan itu benar-benar mematikan, seperti guncangan gempa bumi berkekuatan 9 Skala Richter, yang disusul dengan letusan gunung berapi dan gelombang tsunami dahsyat.

Kalian pasti bisa membayangkan, seberapa hancur diriku, saat dia melancarkan jurus cintanaccio-nya. Rasanya sungguh mengerikan, meski sebenarnya melegakan, karena kini semuanya sudah jelas. Ternyata, aku hanya jadi pengganggu buatnya.

Di lain kesempatan, aku bertemu dengan seorang wanita sederhana. Ia tak suka bertingkah aneh-aneh, dan bukan pecinta barang mewah, meski sebenarnya ia berasal dari keluarga berada. Dalam kesederhanaannya, ia menampilkan satu keanggunan yang mempesona, lengkap dengan keramahan layaknya keluarga sendiri.

Tapi, semua berubah jadi mimpi buruk, setelah para pria sosialita menyerang. Mereka datang dengan segala materi yang mereka punya, meski itu hasil rengekan mereka kepada orangtuanya. Apalah dayaku yang tak punya apa-apa. Separah apapun kondisiku, merengek ke orang tua hanya demi masalah cinta adalah tindakan rendah. Baru mengejar gebetan saja sudah bikin orang tua kelimpungan, bagaimana kalau nanti sudah menikah?

Dengan berat hati, aku meninggalkan dia. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, sambil melihat para pria itu bersaing memperebutkannya, bak serigala berebut daging. Selebihnya, aku hanya jadi "keranjang sampah", saat ia patah hati, atau butuh teman bicara. Jika situasi kembali normal, aku tak lebih dari sesosok makhluk astral buatnya. Aku ada, tapi tak pernah dianggap ada olehnya. Menyedihkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline