Piala Dunia 2018 memunculkan sejumlah tim unggulan, seperti Brasil, Jerman, Prancis, Portugal, dan Argentina. Tim-tim unggulan ini sama-sama punya komposisi skuad mumpuni, dan ditangani pelatih jempolan. Tapi, diantara tim-tim unggulan ini, Argentina menjadi tim dengan beban mental paling berat. Mengapa?
Jawabannya, tak lain tak bukan, adalah karena ekspektasi publik yang begitu tinggi kepada Tim Tango. Ekspektasi ini muncul, setelah mereka mampu mencatat "hat-trick" finalis, di Piala Dunia 2014, Copa America 2015, dan Copa America Centenario 2016. Selain itu, Tim Tango dikapteni oleh Lionel Messi, pemain kidal yang dianggap sebagai salah satu pemain terbaik dunia saat ini.
Dengan modal yang mereka punya ini, wajar jika harapan pecinta sepak bola (terutama fans Lionel Messi) pada Tim Tango begitu tinggi. Apalagi, Di Piala Dunia 2018, Messi masih dalam fase usia emas pesepakbola. Tentu saja, ini akan menjadi kesempatan berikut Si Kutu unjuk gigi di Piala Dunia. Seperti yang sudah-sudah, Messi kembali dibebani harapan, untuk dapat membawa negaranya berjaya.
Dengan segala yang sudah ia raih bersama Barcelona di level antarklub, tentu saja meraih gelar bersama timnas akan membuat status 'legenda' seorang Messi tak akan bisa dibantah lagi. Ibarat orang suci di agama Katolik, jika Messi mampu meraih gelar bersama La Albiceleste, ia akan naik tingkat, dari "Beato" (orang yang diberkati) menjadi "Santo" (orang kudus) di sepak bola Argentina, seperti halnya Diego Maradona yang melegenda itu. Untuk saat ini, Messi masih sebatas dianggap sebagai seorang "Beato" bagi penggila bola di Argentina, karena 'baru' sebatas mencapai final Piala Dunia bersama Tim Tango.
Tapi, meski harapan ini tampak masuk akal, saya justru melihat, harapan ini adalah harapan yang sangat berat. Terutama, jika melihat situasi Tim Tango belakangan ini. Dalam perjalanan ke Rusia, timnas Argentina sempat dilatih tiga sosok berbeda, yakni Gerardo Martino, Edgardo Bauza, dan kini Jorge Sampaoli. Bahkan, mereka hampir saja tak lolos, andai Si Kutu tak mencetak trigol ke gawang tuan rumah Ekuador di partai penutup kualifikasi. Situasi ini sudah cukup menjelaskan, seberapa gawat situasi internal timnas Argentina.
Masalah lainnya, Tim Tango sangat tergantung pada sosok Lionel Messi. Messi yang fit dan berada dalam "hari baik"nya adalah timnas Argentina yang berbahaya. Tapi, jika ia berhalangan tampil, atau dimatikan lawan, Tim Tango tak ubahnya mobil balap tanpa setir. Masalah ini kerap terlihat, saat Argentina tampil tanpa Messi, mereka kerap tumbang, termasuk saat kalah 6-1 melawan Spanyol, beberapa waktu lalu.
Bagi Messi, dan sebagian skuad Argentina saat ini (terutama yang sudah berusia 30-an tahun), Piala Dunia 2018 bisa jadi adalah kesempatan terakhir meraih gelar bersama timnas. Ini dapat menjadi motivasi, sekaligus beban tersendiri bagi Tim Tango di Rusia, tergantung dari bagaimana mereka menanganinya.
Melihat materi tim, dan 'kebiasaan' timnas Argentina di Piala Dunia, jika mereka dapat lolos dari babak perempatfinal, maka mereka berpeluang tampil di final. Kebetulan, Tim Tango selalu melaju ke final, jika mampu lolos dari babak ini, seperti yang mereka tampilkan di Piala Dunia 1978, 1986, 1990, dan 2014. Sebelumnya, Argentina juga sempat menjadi finalis Piala Dunia edisi 1930. Tapi, turnamen ini masih menggunakan format penyisihan grup dan langsung menampilkan babak semifinal dan final.
Akankah Messi dkk berjaya di Rusia?
Jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H