Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Menyikapi Pemberitaan Berlebih Kasus Terorisme di Surabaya

Diperbarui: 14 Mei 2018   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: kaskus.co.id

13 Mei 2018

Waktu menunjukkan pukul 8 pagi (WIB) di hari minggu yang cerah, saat saya bergegas keluar gedung gereja, dan bersiap memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Tapi, di seputaran halaman gereja, saya melihat satu pemandangan tak biasa: beberapa personel polisi terlihat berlalu lalang, jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Padahal, ini adalah hari Minggu biasa, bukan hari raya.

Oke, GKI Ngupasan Yogyakarta, tempat saya biasa bergereja, memang terletak tak jauh dengan Poltabes Yogyakarta, Gedung Agung, dan markas Korem 072 Pamungkas. Tapi, pemandangan yang saya ceritakan di awal tulisan ini, termasuk jarang terjadi. Ada apa?

Pertanyaan ini lalu terjawab, saat saya melihat berita di televisi sesampainya di rumah: tiga bom bunuh diri meledak di tiga gereja berbeda di kota Surabaya: Gereja Santa Perawan Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta Pusat Arjuno. Ketiga insiden ini terjadi menjelang pukul 8 pagi, dengan memakan sejumlah korban jiwa dan luka-luka.

Berita ini membuat saya bergidik ketakutan, dan segera menyadari, kenapa tadi ada beberapa personel polisi yang berlalu lalang, di seputaran halaman gereja. Bisa dipastikan, pemandangan serupa akan rutin terlihat dalam beberapa pekan ke depan, sebagai langkah pengamanan lanjutan dari pihak kepolisian. Untuk yang satu ini, jangan khawatir, kami akan cepat terbiasa.

Saya sendiri tak tertarik mengikuti lebih jauh tayangan "breaking news" di televisi (terutama di stasiun televisi berita) terkait aksi terorisme ini, yang durasinya berjam-jam. Jujur saja, pola pemberitaan semacam ini justru meresahkan jika diikuti terus-menerus. Karena, topik ini terlalu mengerikan untuk dibahas secara terbuka di muka umum. Apalagi, kasus ini terjadi di tempat ibadah, yang mau tak mau akan menyeret masuk hal-hal sensitif seperti agama, untuk ikut dibahas.

Saya justru mempertanyakan, mengapa pola pemberitaan yang dipakai seperti itu? Mengapa durasinya begitu lama? Apa gunanya pemberitaan berlebih seperti itu?

Tanpa bermaksud mendiskreditkan media penyiaran kita, saya melihat ada salah kaprah prioritas, yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Oke, kasus terorisme di Surabaya bukan kasus kriminal biasa, mengingat banyaknya jumlah korban yang jatuh. Tapi, bukan berarti kasus itu harus diberitakan nonstop secara nasional, lengkap dengan analisis super mendalam selama berjam-jam.

Mungkin pendapat saya tadi terdengar menjengkelkan, terutama bagi mereka yang setia mengikuti berita kasus ini. Pertanyaannya, etiskah pemberitaan nonstop selama berjam-jam, untuk kasus terorisme?

Jawabannya tentu saja tidak. Karena, ini bukan tontonan yang baik untuk anak-anak. Untuk yang sudah cukup umur pun, menonton berita kasus ini terlalu lama, hanya akan menimbulkan pergunjingan baru, seperti yang hari ini langsung riuh di media sosial kita.

Jika tak terkendali, pergunjingan di media sosial bisa menjadi ujaran kebencian, yang memecah belah masyarakat. Alih-alih menenangkan, pemberitaan berlebih media akan meresahkan masyarakat. Tanpa disadari, justru disinilah salah satu tujuan aksi teror itu tercapai. Pemberitaan berlebih ini, juga akan membuat kerja aparat keamanan kurang fokus, akibat terlalu sibuk menangani pertanyaan media. Padahal, mereka sedang sibuk bekerja demi menjaga keamanan bersama. Gawat kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline