Dalam beberapa hari terakhir, kita banyak disuguhi berita aksi demo pengemudi/driver jasa transportasi online di depan Istana Merdeka, yang menyerukan perlunya legalisasi transportasi online, terutama ojek online (ojol) oleh pemerintah, dan tuntutan peningkatan tarif per kilometer, dari Rp 2000 per kilometer, menjadi Rp 4000 per kilometer. Tentu saja, ini berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan para driver, yang menggantungkan hidupnya di sini.
Meski tampak sangat masuk akal, tuntutan ini perlu disikapi dengan hati-hati. Jika kedua tuntutan ini direspon tanpa pikir panjang, dampaknya justru akan merugikan semua pihak, baik konsumen, driver, aplikator, maupun pemerintah. Karena, ini dapat "mematikan" keunggulan kompetitif, yang selama ini menjadi "dagangan utama" jasa kekinian ini. Keunggulan ini pula, yang selama ini mampu membuat masyarakat (termasuk saya sendiri) mau mengandalkan moda transportasi satu ini.
Pastinya, jika keunggulan kompetitif ini sampai hilang, akan hilang pula daya tarik utama ojol (dan transportasi online pada umumnya) di mata konsumen. Situasi ini, akan membuat transportasi online seperti penjual bakso yang kehilangan baksonya. Padahal, inilah yang menjadi faktor dasar munculnya moda transportasi online.
Akibatnya, konsumen akan lari, terutama jika harganya di luar jangkauan, baik akibat dikenai pajak (setelah dilegalkan pemerintah), maupun dinaikkan secara sepihak oleh pihak perusahaan aplikator. Otomatis perusahaan aplikator akan oleng, dan harus mengurangi tenaga kerjanya, demi menyelamatkan neraca keuangan perusahaan.
Di sini, pemerintah akan pusing akibat angka pengangguran naik. Kalau sudah begini, demo seperti apapun tak banyak membantu. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, daya beli dan tingkat pendapatan masyarakat di tiap daerah berbeda, bahkan ada juga yang timpang. Jadi, akan tak adil, jika misal standar kenaikan tarif, dan besaran tarif pajak yang digunakan, hanya berdasarkan pada standar yang umum berlaku di ibukota.
Secara pribadi, sebagai seorang penyandang disabilitas, saya sangat terbantu dengan keberadaan ojol. Karena, saya tak perlu menunggu terlalu lama, dengan durasi tak menentu, apalagi sampai harus berdesakan hanya demi berebut kursi. Ojol, dengan segala kelebihannya, mampu membuat saya yang terbatas ini bisa tetap fleksibel. Apalagi, lalu lintas di Yogyakarta, daerah tempat saya berdomisili saat ini, sudah semakin padat. Alhasil, moda transportasi angkutan kota tak lagi seefektif sebelumnya.
Di Yogyakarta sendiri, ada dua jenis moda transportasi angkutan perkotaan, yakni bus kota konvensional, dan Bus Rapid Transit (BRT), yakni Trans Jogja. Tapi, kedua moda transportasi umum ini kerap tak berkutik jika ada kemacetan parah, atau pengalihan arus lalu lintas, akibat penutupan jalan. Selain itu, kedua moda transportasi ini punya batas jam operasional harian, mulai dari pukul 05.30 sampai pukul 17.00 (untuk bus kota konvensional) dan 21.30 (untuk Trans Jogja).
Kelemahan ini mampu diatasi moda transportasi online yang beroperasi 24 jam tiap hari, dengan harga yang relatif terjangkau. Akan sangat disayangkan, jika moda transportasi ini sampai hilang ditinggal konsumen akibat harganya terlalu mahal.
Praktis, untuk saat ini, semua pihak terkait harus duduk bersama, untuk merundingkan "win-win solution" yang bisa dicapai. Tentunya, kita semua sama-sama berharap, keputusan akhir yang nantinya dihasilkan, bukan keputusan yang salah. Karena, jika sampai keputusan akhir yang diambil itu salah, kita akan segera melihat datangnya senjakala moda transportasi online di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H