Jika bicara soal sepak bola di Indonesia, satu kata yang pas untuk menggambarkannya adalah: ironi. Memang, bersama bulutangkis, sepak bola adalah olahraga yang sangat dicintai publik di Indonesia.
Saking cintanya, kita rela begadang, demi menonton aksi tim kesayangan, atau meluangkan waktu untuk datang langsung ke stadion. Ibaratnya, demi tim kesayangan, mendaki gunung, atau menyeberangi lautan pun, siap dilakukan dengan senang hati.
Sayang, prestasi sepakbola kita berbanding terbalik dengan bulutangkis, yang bergelimang prestasi kelas dunia. Sepak bola nasional justru akrab dengan masalah dan kekecewaan, bukan prestasi.
Dalam sepak bola nasional sendiri, selain masalah tata kelola kompetisi yang masih amburadul, terdapat juga masalah anarkis suporter yang berulangkali kambuh. Ironisnya, tindak anarkis itu umumnya didasari oleh rasa cinta terhadap klub. Sayang, rasa cinta itu diekspresikan dengan cara yang salah. Akibatnya, rasa cinta itu bukannya berdampak positif, tapi justru berdampak negatif, bahkan sampai menelan korban jiwa.
Contoh teraktual, dari tindak anarkis ini, terjadi pada laga Arema melawan Persib yang berlangsung panas di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, Minggu, (15/4) lalu. Laga yang berakhir dengan skor 2-2 ini, diwarnai aksi anarkis oknum Aremania, yang menyerbu lapangan, di menit-menit akhir laga, akibat kecewa dengan keputusan wasit. Kali ini, Dhimas Duha Imron (16), Aremania asal Kota Malang meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit, Rabu (18/4).
Penyebab kematiannya, adalah cedera serius di leher dan tangan, akibat terinjak-injak Aremania yang sedang berusaha keluar dari stadion, sembari menghindari semprotan gas air mata aparat keamanan. Tapi, PSSI masih belum menjatuhkan sanksi.
Di sini, selain merasa prihatin, pastinya timbul pertanyaan; bagaimana alur logika berpikir para pelaku tindak anarkis ini? Secara logika berpikir yang sehat, sebuah tindak anarkis seharusnya tak perlu terjadi. Karena, hanya akan merugikan diri sendiri, klub, dan sesama suporter, yang juga sesama manusia. Lagipula, jika mereka ingin timnya selalu menang, sebaiknya mereka membuat kompetisi, yang hanya diikuti tim kesayangan mereka.
Dari sisi klub, tindak anarkis oknum suporter hanya akan membuat klub terkena sanksi, bisa berupa denda, larangan bertanding, bahkan diskualifikasi. Belum lagi, jika klub harus membayar ganti rugi, akibat adanya kerusakan di stadion.
Padahal, dalam kondisi normal saja, klub sudah dibebani ongkos sewa stadion, yang jumlahnya tidak sedikit. Maklum, stadion-stadion sepak bola di Indonesia adalah milik pemerintah daerah. Klub hanya menyewa.
Bagi sesama suporter, tindak anarkis adalah sebuah bahaya serius bagi keselamatan. Di sini jelas, tujuan para suporter datang ke stadion, adalah untuk menonton langsung aksi tim kesayangan, bukan untuk meregang nyawa.
Lagipula, stadion sepak bola adalah arena bermain sepak bola, bukan arena tawuran. Jika sampai potensi terjadinya masalah keamanan di stadion tinggi, bisa dipastikan, penonton akan enggan untuk datang. Akibatnya, klub pun akan rugi.