Dari masa ke masa, selalu ada tim nasional sepakbola yang bersinar, dan menjadi tim yang sangat disegani pada masanya. Kebanyakan dari tim ini, rata-rata punya tim generasi emas, yang sangat diandalkan. Tapi, setelah generasi emas ini habis, berakhir pula era keemasan tim tersebut.
Contoh timnya adalah tim nasional Austria. Tim ini pernah berjaya di era 1930-an. Dibawah arahan pelatih Hugo Meisl, Austria muncul sebagai tim yang disegani di Eropa, berkat sepak bola menyerang bertempo cepat yang mereka mainkan. Tim ini dikenal dengan sebutan "Wunderteam". Di tim ini, Mathias Sindelar muncul sebagai figur pemain kunci.
Di dekade ini, era sukses timnas Austria diawali saat menjadi juara Central European International Cup (CEIC) tahun 1932, setelah mengalahkan Italia 4-2 di final. Turnamen ini, adalah bentuk awal turnamen Piala Eropa, yang baru mulai digelar tahun 1960.
Setelahnya, "Wunderteam" mampu mencapai semifinal Piala Dunia 1934, dan finis di posisi keempat turnamen. Di semifinal turnamen ini, Austria kalah 0-1 dari Italia (yang akhirnya menjuarai turnamen), dan kalah 2-3 dari Jerman di perebutan tempat ketiga. Setelahnya, Austria meraih medali perak Olimpiade 1936, setelah kalah 1-2 dari Italia di final.
Akhir era keemasan Wunderteam, ditandai dengan kematian Hugo Meisl (tahun 1937), disusul pendudukan Jerman, dan kematian Mathias Sindelar (tahun 1939). Setelah Perang Dunia II, timnas Austria sempat merebut medali perunggu Piala Dunia 1954. Dalam tim ini, Das Team diperkuat Ernst Happel (1925-1992), yang kelak menjadi pelatih timnas Belanda di Piala Dunia 1978.
Di level antarklub, kelak Ernst Happel tercatat sebagai satu dari sedikit pelatih, yang mampu meraih gelar Piala Champions Eropa (kini Liga Champions Eropa), bersama dua klub berbeda. Happel meraihnya tahun 1970 (bersama Feyenoord Rotterdam) dan 1983 (bersama Hamburger SV). Nama Happel lalu diabadikan sebagai nama stadion nasional Austria di kota Wina. Stadion Ernst Happel ini, adalah stadion tempat dihelatnya final Piala Eropa 2008, antara timnas Spanyol melawan Jerman.
Setelahnya, timnas Austria tak pernah lagi mencapai babak akhir turnamen mayor. Prestasi terbaik mereka adalah perempatfinalis Piala Dunia 1978 dan 1982. Kala itu, mereka diperkuat Hebert Prohaska dan Hans Krankl. Selebihnya, timnas Austria selalu mentok di babak awal, tepatnya di Piala Dunia 1990 dan 1998.
Di tingkat benua, mereka menjadi tuan rumah Piala Eropa 2008 (bersama Swiss), dan lolos di Piala Eropa 2016. Kedua penampilan ini, sama-sama berakhir di fase grup. Di era terkini, Austria diperkuat pemain macam David Alaba (Bayern Munich) dan Marko Arnautovic (Stoke City).
Praktis, untuk saat ini, timnas Austria dianggap sebagai salah satu timnas gurem di Eropa. Karena, setelah berakhirnya generasi Wunderteam, generasi Piala Dunia 1954, dan generasi 1978, timnas Austria belum pernah punya lagi generasi timnas yang kompetitif. Uniknya, meski prestasi timnasnya tak meyakinkan, klub RB Salzburg (juara liga Austria) justru mampu mencetak sejarah, dengan menembus semifinal Liga Europa musim 2017/2018. Boleh dibilang, ini menjadi setitik terang di tengah suramnya prestasi timnas (dan persepakbolaan) Austria.
Situasi timnas Austria ini menjadi sebuah contoh, dari pentingnya pembinaan pemain muda secara kontinyu. Supaya, regenerasi pemain dalam sebuah timnas tetap lancar. Sehingga, level standar kualitas dan daya saing sebuah tim nasional dapat terjaga, bahkan terus meningkat. Jika sampai diabaikan, sebagus apapun prestasi sebuah tim nasional di masa lalu tak akan ada artinya. Malah, prestasi 'jadul' ini akan tampak memalukan, jika tim itu justru masih terus terpuruk di masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H