"Remuntada" alias "comeback", itulah misi Manchester City, saat menjamu Liverpool, di leg kedua perempatfinal Liga Champions, Rabu, (11/4, dinihari WIB). Maklum, di leg pertama, City kalah 0-3. Mau tak mau, mereka harus tampil habis-habisan, demi menjaga asa lolos ke semifinal.
Misi "Remuntada" ini, benar-benar disikapi sangat serius oleh seluruh tim Manchester City. Saking seriusnya, mereka sampai berani memasang sebagian tim cadangan, saat kalah 2-3 dari Manchester United, akhir pekan lalu. Bak gayung bersambut, misi "Remuntada" ini, juga di "blow up" habis-habisan oleh media, seolah keunggulan Liverpool di leg pertama tak ada artinya. Banyak juga yang menjagokan City lolos, karena City pernah menghajar Liverpool 5-0 di Etihad Stadium, di ajang liga Inggris.
Di hari H pertandingan, misi "Remuntada" ini menampakkan ujudnya. Di lapangan, pelatih Pep Guardiola memasang formasi 3-1-3-3, dengan memasang 6 pemain bernaluri menyerang. Di pinggir lapangan, suporter City menciptakan atmosfer intimidatif, demi mewujudkan mimpi City.
Awalnya, semua tampak baik-baik saja. Bahkan, harapan City sempat membumbung tinggi, saat Gabriel Jesus sukses mencetak gol di menit-menit awal. Setelahnya, Liverpool ditekan habis-habisan. Tapi, City benar-benar sial malam itu. Pertahanan Liverpool tampil begitu disiplin, dan tangguh layaknya batu karang. Peluang-peluang City mentah, bahkan saat kiper Loris Karius sudah mati langkah. Seperti yang terjadi, pada tendangan Bernardo Silva yang mencium mistar.
Dengan penguasaan bola sebesar 68 persen, dan total 20 tembakan, City mampu memonopoli jalannya laga, dan menampilkan sepak bola indah. Tapi, dominasi ini hanya sebuah gambaran, dari rasa frustrasi City, selain formasi menyerang yang mereka tampilkan. Rasa frustrasi City mencapai puncaknya, saat Pep Guardiola diusir dari bench, akibat berdebat dengan ofisial pertandingan. Inilah titik balik, yang justru meruntuhkan mental City. Karena, setelah Pep pindah ke tribun penonton, mereka seperti anak ayam kehilangan induk.
Situasi ini, membuat Liverpool menjalani babak kedua dengan nyaman. Alih-alih membuat "remuntada", City malah di-"remuntada" oleh Liverpool, berkat gol yang dicetak Mohamed Salah dan Roberto Firmino di babak kedua. Padahal, Liverpool hanya kebagian 32 persen penguasaan bola, dan membuat 8 tembakan ke gawang. Alhasil, City kalah agregat 1-5, dan harus rela melihat Etihad Stadium berubah wujud menjadi Empty-had Stadium di akhir laga. Skor agregat telak ini, mungkin hanya bisa terwujud di alam mimpi, jika melihat performa ciamik City musim ini. Tapi, Liverpool berhasil mewujudkannya.
Meski terasa getir buat City, pertandingan ini menjadi potret teraktual, dari sisi naif sepak bola indah; enak dilihat, tapi penuh kecerobohan. Gol Salah dan Firmino, menampilkannya secara nyata. Kedua gol ini, berawal dari skema serangan balik cepat, yang gagal diantisipasi City. Akibat kecerobohan inilah, City harus "mati", dalam keindahan yang mereka buat, di markas sendiri. Agaknya, Pep butuh waktu lebih lama lagi, untuk membangun mental bertanding City di Eropa.
Sementara itu, kemenangan ini, menjadi progres berikutnya, dari program "Revolusi Mental", yang dicanangkan Jurgen Klopp, sejak ditunjuk menjadi pelatih Liverpool, klub yang penuh dengan prestasi historis di masa lalu, tapi justru terbuai olehnya. Kiprah Liverpool di Liga Champions Eropa musim ini menunjukkan, Klopp ingin membuat sejarah baru di Liverpool, bersama seluruh pemain dan Kopites, dengan memulainya dari Eropa.
Selamat Liverpool!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H