Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sebuah Refleksi Paskah

Diperbarui: 1 April 2018   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Bicara soal Paskah, kita semua sepakat, ini adalah hari besar, bagi umat Kristiani selain Natal. Dengan statusnya sebagai hari besar keagamaan, tiap tahunnya, Paskah selalu berhasil menarik mereka, yang biasanya sering bolos ke gereja, untuk datang.

Bahkan, mereka mendadak sangat rajin ke gereja. Semua rangkaian ibadah Paskah (Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Minggu Paskah) dilahap habis tanpa ada yang terlewat. Tak heran, tiap tahunnya, gedung gereja sering tampak kelebihan kapasitas, seperti halnya saat Natal tiba.

Padahal, biasanya tak pernah begitu. Di kalangan gereja sendiri, fenomena ini biasa disebut sebagai "fenomena munculnya kapal selam". Istilah "kapal selam" ini biasa digunakan, untuk menyebut mereka yang hanya datang ke gereja saat Natal dan Paskah.

Saya sendiri, semasa kecil dulu menganggap Paskah sebagai periode yang spesial; libur long weekend, ada pentas seni teatrikal di gereja, bermain mencari telur, dan segala hal menarik lainnya. Ke gereja pun terasa berbeda, karena kali ini saya beribadah ke gereja lebih sering dari biasanya (biasanya hanya sekali sepekan), dan gereja dijaga ketat aparat keamanan seperti saat Natal.

Karenanya, kadang saya menganggap Paskah adalah hari "Natal kedua". Seiring berjalannya waktu, kadang saya tertawa geli jika mengingat ini. Karena, meski sama-sama momen peringatan karya kasih Yesus di dunia,  Natal dan Paskah adalah dua momen yang sama sekali berbeda.

Hal yang kurang saya suka saat Paskah hanyalah, berangkat dari rumah maksimal satu jam lebih awal dari biasanya, agar kebagian tempat duduk di gereja. Selain itu, baju yang dipakai harus selalu lebih bagus dari biasanya. Pendek kata, Paskah selalu bisa mengundang rasa takjub, dan rasa jengkel secara bersamaan. Karena, kali ini harus berangkat sangat awal, dan diharuskan berpenampilan lain dari biasanya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, pelan-pelan muncul beberapa pertanyaan di pikiran saya. Pertama, mengapa rangkaian ibadah Paskah selalu penuh sesak (bahkan membeludak), kemana saja mereka selama ini? Kedua, mengapa Paskah seolah jadi ajang "pamer" rutin (seperti saat Natal)? Ketiga, apakah Paskah itu (memang menjadi) sebuah paradoks rutin tahunan (seperti halnya Natal)?

Oke, izinkan saya menjelaskan. Untuk pertanyaan pertama, keheranan utama saya, muncul pada jumlah jemaat, yang jumlahnya sampai beberapa kali lipat lebih banyak, dari ibadah mingguan rutin. Bahkan, supaya tak kehabisan kursi, orang rela datang lebih awal. Padahal, urutan liturginya tak jauh beda dengan minggu biasa.

Inti kegiatannya sama; doa, menyanyikan lagu pujian keagamaan, pemberkatan, dan khotbah, yang selalu bicara soal kasih dan kebaikan Tuhan kepada manusia. Satu-satunya pembeda adalah, ini pekan Paskah. Tak lebih tak kurang.

Ternyata, salah satu faktor penyebabnya adalah, Paskah (seperti halnya Natal) saat ini dianggap sebagai panggung "pamer" ideal. Banyak orang yang datang ke gereja saat pekan Paskah, dengan memakai kendaraan, dan pakaian lebih mewah dari biasanya. Ada yang dandanannya begitu menor sampai sulit dikenali orang.

Ada juga, yang gayanya tampak sangat religius di gereja, mulai dari gestur tubuh, sampai unggahan status di media sosialnya. Saking 'religius'nya, mereka sampai bisa menangis begitu histeris tanpa malu-malu, saat drama teatrikal kisah penyaliban Yesus berlangsung. Padahal, di hari lain, semua tampak serba biasa, sekenanya, seadanya, layaknya tubuh tanpa jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline