Diantara semua sarana prasarana pendukung berjalannya sebuah pertandingan sepak bola, stadion memegang peran penting.
Karena disinilah laga akan berlangsung, dan di stadion jugalah semua suporter (yang menonton laga secara langsung) akan ditampung, dan bebas berekspresi. Hal ini tak hanya berlaku di luar negeri, tapi juga di Indonesia.
Bicara soal stadion, ada satu hal, yang akan menentukan, apakah stadion tersebut layak pakai atau tidak. Hal itu adalah kondisi terkini infrastruktur (lapangan, tribun, drainase, dan sebagainya) stadion.
Sebuah stadion baru bisa dinyatakan layak pakai, jika kondisi infrastrukturnya dinyatakan lolos verifikasi atau uji kelayakan.
Tentunya, uji kelayakan ini bertujuan untuk menjamin kenyamanan dan keselamatan penonton, pemain, maupun pengguna stadion lainnya.
Di Indonesia, keberadaan sebuah stadion sepak bola seolah akrab dengan masalah kerusakan. Untuk stadion yang sudah lama berdiri, dan belum direnovasi, kerusakan adalah bagian dari penuaan stadion.
Masalah kerusakan ini adalah pelengkap, dari masalah-masalah lainnya, seperti lapangan yang botak atau becek, dan bangku stadion yang lapuk dimakan usia.
Jika kerusakannya sudah sangat kronis, inilah saatnya renovasi dilakukan. Tapi, jika renovasi ternyata tak memungkinkan, membangun stadion baru adalah pilihan terbaik (dan terakhir).
Tapi, masalah kerusakan stadion ternyata juga terjadi baik pada stadion baru, atau yang sudah direnovasi. Contoh terkini, terjadi pada Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), pada final Piala Presiden 2018, antara Persija Vs Bali United, Sabtu, (17/2) lalu.
Dalam laga yang dimenangkan Persija dengan skor 3-0 ini, beberapa titik SUGBK dirusak oleh oknum suporter tak bertanggung jawab.
Akibatnya, renovasi SUGBK selama setahun lebih, dengan ongkos Rp 770 miliar jadi terlihat mubazir. Padahal, stadion ini akan digunakan untuk ajang Asian Games 2018, mulai bulan Agustus mendatang.