Bukan Semeton, bukan Jakmania, bukan juga Bonek, tapi Bobotoh-lah yang terpilih sebagai suporter terbaik Piala Presiden 2018, dan mendapat hadiah 110 juta rupiah. Tanpa bermaksud menjelekkan, kesuksesan Bobotoh ini adalah satu hal yang sebetulnya sangat janggal. Mengapa demikian?
Karena, penghargaan yang didapat Bobotoh ini berbanding terbalik, dengan performa Persib di lapangan. Memang, meski bertindak sebagai tuan rumah, Persib hanya bisa mencatat satu kemenangan dan dua kekalahan dari 3 laga. Bahkan, mereka hanya bisa mencetak 1 gol dan kebobolan 3 gol. Alhasil, Persib harus angkat koper lebih awal, dan merelakan Sriwijaya FC lolos bersama PSMS Medan, klub yang kini diasuh Djadjang Nurdjaman, eks pelatih Persib.
Jebloknya performa Persib di lapangan, justru diperparah dengan aksi tak sportif oknum Bobotoh, yang melempari tim lawan dengan benda asing. Aksi ini terjadi, saat Persib kalah 0-2 dari PSMS Medan dan kalah 0-1 dari PSM Makassar. Akibatnya, kedua tim ini harus dievakuasi dari stadion, dengan dikawal ketat aparat keamanan. Persib sendiri harus menanggung total sanksi denda 35 juta rupiah dari PSSI.
Di sini, tampak jelas bagaimana kesan sikap (oknum) Bobotoh, saat Persib gagal menang di kandang; "Tidak menang botol melayang". Jadi, tampak aneh jika dengan situasi dan prestasi semacam itu, Bobotoh menerima penghargaan suporter terbaik.
Kalau parameternya adalah animo suporter, oke, animo Bobotoh memang tinggi. Tapi, bicara soal animo suporter, animo Bonek, Jakmania, dan Semeton juga tak kalah tinggi. Bahkan, mereka tetap setia mendukung langsung tim kesayangan, walau harus bermain tandang.
Sekilas, meski ini tampak kurang adil, jika dilihat sekali lagi, ternyata ada dua parameter kunci, yang sukses 'memenangkan' Bobotoh. Parameter pertama adalah tingkat pemberitaan atau keaktifan di media sosial. Parameter kedua adalah nilai rating televisi, saat pertandingan Persib ditayangkan. Memang, untuk dua hal ini, Bobotoh memang masih unggul dibanding tim lain di Indonesia.
Tapi, terpilihnya Bobotoh jelas menunjukkan, bagus tidaknya kelompok suporter di Indonesia masih sebatas dilihat dari sisi publisitas, dan manfaat dari segi bisnisnya belaka. Padahal, jika mau adil, baik-buruknya satu kelompok suporter, seharusnya dinilai dari sikap mereka dalam hal menerima apapun hasil akhir pertandingan, atau dampak positif dukungan mereka, terhadap performa tim di lapangan. Karena, suporter ada untuk mendukung klub, supaya dapat menampilkan performa terbaik di lapangan.
Ke depannya, jika parameter rating televisi dan keaktifan di media sosial masih menjadi acuan, perseden buruk akan muncul di persepakbolaan nasional yang masih amburadul ini. Karena, akan timbul kesan, "selama aktif di media sosial, dan mencatat rating tinggi di televisi, berbuat anarkis bukan masalah.". Jika kesan berpikir ini hendak dibudayakan di sepak bola nasional, jangan kaget kalau di masa depan anarkisme suporter di Tanah Air akan tumbuh subur layaknya "hooligan" Inggris di masa lalu.
Otomatis, perlu digunakan parameter yang lebih objektif di masa depan, untuk menilai "suporter terbaik". Supaya, siapapun pemenangnya, ia akan dapat menjadi contoh yang baik, dan mampu membantu mewujudkan terciptanya atmosfer positif di persepakbolaan nasional. Karena, sepak bola sejatinya adalah olah raga yang mampu membawa kegembiraan, bukan biang terjadinya gangguan keamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H