Pada Rabu (25/10) lalu, Ilija "Spaso" Spasojevic, penyerang kelahiran Montenegro, resmi dinaturalisasi menjadi WNI. Dengan demikian, Spaso menambah panjang daftar pemain naturalisasi di Indonesia. Sebelumnya, antara lain sudah ada sosok Irfan Bachdim (Belanda), Cristian Gonzales (Uruguay), Kim Jeffrey Kurniawan (Jerman), dan Pierre Bio Paulin (Kamerun), yang berstatus serupa.
Naturalisasi Spaso, lalu mengundang kritikan. Karena, ini dianggap mengingkari potensi talenta sepak bola tanah air yang (sejak lama diklaim) besar. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia sudah melewati angka seperempat miliar jiwa. Tapi, para kritikus ini lupa, berganti kewarganegaraan adalah salah satu hak asasi manusia. Jadi, sebetulnya tak ada yang salah di sini. Apalagi, jika si pemohon sudah memenuhi semua syarat yang diperlukan.
Dalam konteks sepak bola, naturalisasi pesepakbola adalah hal yang umum terjadi, bahkan sejak dekade 1930-an. Tepatnya, saat Italia menaturalisasi Omar Sivori (Argentina), demi meraih target juara Piala Dunia 1934. Setelahnya, ada juga Alfredo Di Stefano, Argentino yang sempat membela timnas Spanyol, bersama Ferenc Puskas (Hongaria) di akhir dekade 1950-an.
Memasuki dekade 2000-an, cukup marak dilakukan, bahkan oleh timnas kelas dunia. Di Eropa, Spanyol, Portugal, Italia, dan Jerman, sudah pernah melakukannya. Portugal, sang juara Eropa 2016, antara lain menaturalisasi Anderson "Deco" de Souza, dan Kepler "Pepe" Laveran de Lima, pemain kelahiran Brasil. Spanyol, sang juara Piala Dunia 2010, juga menaturalisasi empat pemain berdarah Brasil, yakni Diego Costa, Thiago Alcantara, Rodrigo, dan Marcos Senna. Tak ketinggalan, dua negara juara dunia empat kali, yakni Jerman dan Italia, juga melakukannya. Jerman menaturalisasi Cacau, penyerang kelahiran Brasil, yang sempat tampil di Piala Dunia 2010. Sementara itu, Italia menaturalisasi Mauro Camoranesi (Argentina), Mario Balotelli (Ghana) plus Thiago Motta dan Eder Citadin (Brasil).
Di Asia Tenggara, Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia juga terang-terangan melakukannya. Filipina antara lain menaturalisasi Younghusband bersaudara, dan Neil Etheridge (Inggris). Singapura antara lain menaturalisasi Agu Casmir (Nigeria), dan Aleksandar Duric (Serbia). Malaysia menaturalisasi Kiko Insa (Spanyol). Tak ketinggalan, Thailand, tim paling dominan di ASEAN, juga menaturalisasi Cyril Chappuis (Swiss), dan Robin Holm (Swedia).
Jika hanya melihat dari sisi prestasi, apa yang dilakukan Jerman, Italia, Spanyol, dan Portugal ini, terlihat seperti sebuah langkah mundur. Karena, keempat negara ini punya sistem pembinaan pemain yang baik, dan rajin mencetak pemain bintang kelas dunia. Padahal, faktanya tidak demikian.
Karena, si pemain sendirilah yang ingin dinaturalisasi, dan telah memenuhi semua syarat yang dibutuhkan. Jika ternyata mereka dipanggil memperkuat timnas negara itu, pemanggilan itu murni karena aspek teknis, bukan titipan atau rekaan. Jadi, tak ada yang salah dengan naturalisasi pemain, selama itu sesuai aturan yang berlaku. Toh tak semua pemain naturalisasi itu sukses menembus timnas senior Indonesia, seperti pada kasus Ruben Wuarbanaran, dan Diego Michels (Belanda).
Malah, daripada mempermasalahkan keberadaan pemain naturalisasi, kita seharusnya merasa malu. Karena, Spaso dan para pemain naturalisasi ini, sangat ingin membela Tim Merah Putih. Sikap ini justru kontras, dengan sikap klub-klub Indonesia, yang sering ogah-ogahan saat melepas pemainnya ke timnas. Padahal, ini adalah tugas negara. Seperti yang sempat terjadi, di gelaran Piala AFF 2016 lalu. Dari sikap Spaso dan kawan-kawan inilah, klub-klub kita seharusnya bisa mulai belajar, untuk tidak egois. Karena, bagi seorang pesepakbola, bisa bermain bersama tim nasional adalah sebuah kehormatan yang membanggakan, bukan beban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H