Jika bicara soal klub OGC Nice sampai dengan sebelum musim lalu, tidak banyak yang tahu, soal klub Ligue 1 ini. Maklum, pada era terkini, klub asal Prancis bagian selatan ini bukan klub langganan juara liga, seperti halnya AS Monaco, PSG, atau Olimpique Marseille. Bahkan, klub ini masih kalah tenar dengan kota tempat markas mereka, yakni Nice, kota yang memang menjadi salah satu daerah destinasi wisata populer di Negeri Anggur, karena memiliki pantai dan bangunan klasik yang menawan.
Dari Nice, tak banyak muncul pemain yang benar-benar dikenal luas. Praktis, klub ini hanya dianggap sebagai batu loncatan, bagi para pemain muda. Karena, setelah sempat berjaya di tahun 1950-an, dengan menjuarai liga Prancis sebanyak 4 kali (1951, 1952, 1956, 1959), klub berseragam khas merah-hitam ini kerap naik turun divisi, sebelum akhirnya kembali tampil rutin di Ligue 1 sejak musim 2002/2003 hingga kini.
Tercatat, klub ini merupakan klub tempat Hugo Lloris (kapten timnas Prancis, kini di Tottenham Hotspur) memulai karir. Selain itu, Nice juga menjadi klub tempat kemampuan Patrice Evra mulai dikenal publik Prancis, sebelum akhirnya meraih banyak prestasi bersama AS Monaco, Manchester United, dan Juventus.
Sebelum membuat kejutan, dengan finis di posisi 3 Ligue 1 musim 2016/2017 lalu, Nice adalah klub spesialis papan tengah. Target minimal mereka tiap musim pun kurang lebih sama; tidak terdegradasi. Jika ternyata bisa lolos ke Eropa, maka itu adalah bonus, seperti yang terjadi di musim 2015-2016, saat mereka mampu finis di posisi 4 Ligue 1, dan lolos ke Liga Europa. Bisa dibilang, Nice adalah klub yang cukup 'woles' dalam hal menargetkan capaian prestasi yang ingin diraih.
Situasi mulai berubah, sejak musim 2015-2016, saat mereka merekrut Hatem Ben Arfa secara gratis, dengan ikatan kontrak selama setahun. Kala itu, Nice, yang memberinya kontrak selama setahun, dinilai sedang berjudi. Karena, meski berbakat, Ben Arfa tergolong bengal, sudah 'habis', dan sulit ditangani. Tapi, secara mengejutkan, Ben Arfa mampu mencetak total 18 gol dari 37 laga, dan membawa Nice duduk di posisi 4 Ligue 1 musim 2015-2016. Performa bagus ini, lalu sukses membawa Ben Arfa pindah ke PSG, saat kontraknya di Nice berakhir.
Kesuksesan transfer Ben Arfa, lalu menginspirasi OGC Nice, untuk menempuh cara belanja pemain yang mirip di musim berikutnya; merekrut pemain berbakat tapi bermasalah, atau bintang yang dinilai sudah 'habis' dengan harga semurah mungkin. Kali ini, mereka merekrut si penyerang bengal Mario Balotelli (Italia) secara gratis dari Liverpool, dan merekrut Dante Bonfim (34, eks bek timnas Brasil) dari Wolfsburg seharga 2,5 juta euro. Hasilnya, secara personal, Balotelli mampu mencetak total 17 gol dari 28 laga, dan Dante sukses tampil bagus, sebagai komandan lini belakang Nice. Secara tim, Si Elang Kecil sukses finis di posisi 3 Ligue 1musim 2016-2017, dan lolos ke babak play-off Liga Champions musim 2017-2018, setelah menyingkirkan Ajax (Belanda) dengan agregat 3-3 (1-1; 2-2, Nice unggul agregat gol tandang) di fase kualifikasi. Di babak play-off, Nice akan menghadapi Napoli (Italia).
Memasuki musim 2017-2018, Nice kembali berbenah, dengan pola transfer yang sama. Kali ini, pada Minggu (6/8) lalu, mereka merekrut secara gratis Wesley Sneijder (33), gelandang kreatif asal Belanda. Sneijder direkrut dengan kontrak selama setahun, tak lama setelah ia memutus kontraknya dengan Galatasaray (Turki) setahun lebih awal. Kedatangan Sneijder, akan menambah kekuatan Nice, yang musim ini akan berlaga di liga domestik dan kompetisi antarklub Eropa.
Strategi belanja Nice, dalam dua tahun terakhir, adalah antitesis dari gaya belanja PSG, klub kaya Ligue 1, yang begitu boros dalam hal belanja pemain. Situasi ini wajar, karena anggaran belanja Nice terbatas. Tapi, Nice mampu menyiasatinya, dengan cara mengambil risiko merekrut pemain 'bengal' atau bintang yang sudah 'habis', untuk dijadikan pemain utama tim.
Disinilah, terjadi hubungan saling menguntungkan, antara si pemain dan klub itu sendiri. Si pemain mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan klub mampu meraih prestasi bagus. Bahkan, dapat terjadi juga transfer ilmu, dari si pemain ke pemain muda di tim. Pada kasus di Nice, kita menemuinya pada sosok Malang Sarr (18), tandem Dante di lini belakang Nice. Berkat penampilan bagusnya musim lalu, Sarr kini mulai menarik perhatian tim raksasa Eropa, dan dianggap sebagai bek berbakat.
Strategi belanja Nice, memang tergolong unik dan sangat irit. Tapi, mereka menjadi contoh aktual, bahwa harga mahal tidak selalu mampu menjamin kesuksesan. Kesuksesan hanya pasti dapat diraih, jika keputusan (termasuk pembelian pemain) yang diambil tepat, dan dapat bermanfaat secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H