Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Pelajaran dari Afi dan Awkarin

Diperbarui: 22 Juli 2017   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada era kemajuan teknologi ini, segala sesuatu terasa begitu mudah dilakukan manusia. Tak hanya mampu membantu memenuhi kebutuhan primer, teknologi juga mampu membantu pemenuhan kebutuhan sekunder, termasuk aktualisasi diri lewat media sosial. Menariknya, berkat kemajuan teknologi, aktualisasi diri lewat media sosial kini mulai menjadi kebutuhan primer manusia masa kini. Bisa dibilang, tiada hari tanpa bersentuhan dengan gadget.

Dari situasi inilah, teknologi mampu menjadi jalan pintas bagi seseorang, untuk menjadi populer, dan meraup penghasilan besar dalam waktu singkat. Tak heran, profesi "buzzer" atau "influencer" kini begitu diminati. Menjadi populer, dan meraih banyak uang lewat bermain media sosial. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan?

Diantara sekian banyak "influencer" media sosial yang muncul di Indonesia, Karin Novilda alias Awkarin, dan Asa Firda Inayah alias Afi Nihaya Faradisa, menjadi contoh menarik. Karena, keduanya muncul dari media sosial, lewat kontroversi yang mereka buat. Awkarin lewat gaya hidupnya yang mewah dan kebarat-baratan, serta karya musiknya yang tak biasa dan Afi lewat tulisan, dan videonya, yang inspiratif tapi hasil plagiat.

Dari sisi strategi marketing, baik Afi maupun Awkarin sama-sama cerdik. Mereka mampu memanfaatkan karakteristik sebagian netizen Indonesia, yang masih sangat reaksional, dan gampang memviralkan konten medsos, lewat konten-konten 'tak biasa' yang mereka unggah. Pada kasus Afi, ia mampu memanfaatkan celah longgar "copy-paste" konten di media sosial. Meski karyanya hasil plagiat, sejauh ini toh ia masih bebas mencatut, dan mengakui hasil karya orang lain sebagai karyanya sendiri. Di sini, mereka sama-sama mendapat "brand image" kontroversial yang sangat kuat. Mereka sudah terkenal, tanpa harus berpromosi secara besar-besaran.

Di sisi lain, Afi dan Awkarin sama-sama mampu memanfaatkan dengan baik rasa tidak suka publik atas mereka, untuk meraih popularitas, dan mengais rejeki. Banyaknya hujatan, cacian, atau pujian yang mereka terima di media sosial, mampu menarik perhatian sponsor, berkat tingginya angka kunjungan netizen ke akun media sosial mereka. Di sini, mereka jelas diuntungkan. Semakin banyak komentar hujatan yang didapat, semakin tinggi juga angka kunjungan netizen ke akun media sosial mereka. Otomatis, jumlah sponsor, dan uang yang didapat akan semakin banyak.

Harus diakui, Awkarin, dan Afi sama-sama cerdik, dan kreatif, meski caranya kurang etis. Dengan "brand image" yang sudah kuat, mereka tak lagi peduli dengan bobot nilai manfaat, atau orisinalitas karyanya. Hujatan bukan lagi masalah, tapi sumber berkah. Ironis, tapi faktanya memang demikian.

Pada saat yang sama, Afi, dan Awkarin sama-sama memberi kita pelajaran mahal, tentang perlunya sikap bijak dalam bermedia sosial. Sebuah konten negatif, seharusnya tak perlu direspon secara berlebihan. Karena, itu hanya akan menguras emosi kita, dan menguntungkan mereka. Demi kesehatan jiwa kita, seharusnya kita mendiamkan saja apa yang  mereka unggah. Hidup kita sudah berisi banyak masalah. Alangkah bodohnya jika kita menambahnya, dengan masalah yang seharusnya tak perlu ada.

Dari Afi dan Awkarin juga, kita mendapat pelajaran; pemanfaatan teknologi untuk tujuan yang benar (mencari uang) sebetulnya bukan hal buruk. Ia hanya akan menjadi hal buruk, jika caranya salah (misal: memanfaatkan rasa benci publik).  Padahal, teknologi sendiri, pada dasarnya diciptakan, untuk mempermudah hidup manusia, bukan membebani, apalagi sampai menyiksa batin manusia lewat rasa benci.

Referensi

Referensi

Referensi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline