Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Pilihan

Diperbarui: 2 Juli 2017   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya, Saya mohon maaf, jika nanti ada pihak yang tersinggung dengan tulisan Saya ini. Beberapa waktu lalu, kita semua dikejutkan dengan tulisan berjudul "Warisan", yang viral di dunia maya, oleh Afi Nihaya Faradisa. Terlepas dari dugaan plagiarisme yang mengikutinya, tulisan itu memang berhasil mengingatkan kita semua, untuk tetap menjadi bangsa yang bersatu, dalam setiap perbedaan yang ada.

Tapi, meski cukup terlambat, izinkan Saya untuk mengoreksinya. Memang benar, kita tidak bisa memilih di mana tempat lahir kita, apa jenis kelamin kita, dan bagaimana kondisi ekonomi keluarga kita. Kita juga tidak bisa memilih, bagaimana kondisi fisik kita saat lahir. Atribut personal (nama, etnis, agama, dan kewarganegaraan), yang kita punya saat lahir pun adalah warisan, dari orang tua, lingkungan, dan negara tempat kita dilahirkan.

Tapi, semua atribut "warisan" yang melekat pada diri kita, hanya "warisan" di tahap awalnya. Karena, setelah kita dewasa, semua atribut "warisan" ini, akan berubah menjadi sebuah "pilihan". "Pilihan" ini mempunyai dua kemungkinan; bertahan untuk seterusnya, atau berubah sewaktu-waktu, tergantung dari "pilihan" mana yang kita ambil.

Pada kasus atribut nama, dan agama pada saat lahir, kita dapat melihat contohnya bersama, pada dua sosok legendaris di bidang olah raga dan musik. Di bidang olah raga, ada sosok Cassius Marcellus Clay Junior, seorang Afro-Amerika, yang beragama Kristen saat lahir pada tahun 1942. Tapi, sejak tahun 1964, sampai wafatnya pada tahun 2016, ia memilih menanggalkan "warisan"nya itu, dengan menjadi seorang Muslim, dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali, yang kita kenal bersama, sebagai seorang petinju legendaris dunia.

Di bidang musik, kita menemuinya, pada sosok Christian Rahadi (1949-2007), yang saat lahirnya adalah seorang beragama Kristen. Tapi, saat menikah dengan Yanti, istrinya, pada tahun 1982, ia memilih untuk menanggalkan "warisan"nya itu, dengan menjadi seorang Muslim, mengikuti agama istrinya, dan mengubah namanya menjadi Chrismansyah Rahadi, atau yang kita kenal dengan nama tenar Chrisye, salah satu penyanyi legendaris Indonesia. Bahkan, Chrisye, yang berdarah Tionghoa, juga memilih untuk menanggalkan "warisan" atribut kesukuannya. Sepanjang hidupnya, Chrisye memilih menjadi "orang Indonesia" seutuhnya. Karena, dia memang seorang WNI yang lahir (dan wafat) di Jakarta.

Dalam hal atribut ras, secara khusus kita dapat menemui contohnya, pada sosok Michael Jackson (1958-2009), si "King of Pop". Jackson, yang seorang Afro-Amerika, memutuskan mengubah atribut "warisan"nya, yakni kulit berwarna gelap, menjadi lebih putih. Ia juga mengoperasi plastik beberapa bagian tubuhnya, supaya terlihat lebih keren (keren menurut versi Jackson tentunya).

Dalam hal "warisan" status kewarganegaraan pun, seseorang bisa kehilangan kewarganegaraannya, jika ia memilih menjadi "stateless" (tanpa kewarganegaraan), atau berpindah kewarganegaraan (dinaturalisasi), karena beremigrasi ke negara lain, misalnya, untuk menyelamatkan diri dari perang di negara asal, bekerja, atau karena mengikuti status kewarganegaraan pasangan/ keluarganya.

Kemajuan pesat teknologi kedokteran saat ini, juga memungkinkan seseorang untuk mengganti "warisan" jenis kelaminnya lewat operasi kelamin, yang kadang diikuti dengan perubahan nama lewat sidang di pengadilan. Hal ini memang masih jarang terjadi di Indonesia. Kalaupun ada, operasi ini dilakukan murni karena faktor medis. Tapi, hal ini sudah jamak terjadi di Thailand, negara tetangga kita. Di Thailand, operasi 'ganti onderdil' ini memang dilegalkan secara luas oleh pemerintah setempat, dan terbuka bagi siapapun yang memang memilih untuk 'ganti onderdil'.

Atribut dasar ("warisan"), yang melekat pada diri kita, pada awalnya memang adalah sebuah "warisan". Tapi, pada prosesnya,  ia adalah sebuah "pilihan", entah itu untuk dipertahankan atau diubah. Apapun pilihannya, itu adalah hak dasar tiap orang, yang harus tetap dihormati, tanpa perlu ditanggapi secara berlebihan. Di saat dunia kini sudah mulai berpikir bersama soal masalah lingkungan, dan kemanusiaan lintas batas, akan sangat memalukan, jika sampai masih ada kegaduhan di negara kita, hanya karena soal "pilihan" yang diambil seseorang atau kelompok tertentu. Karena hidup kita bukan sekadar "warisan", hidup kita adalah "pilihan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline