Dua kali kalah dalam dua laga terakhir. Itulah capaian negatif Persib Bandung di Liga 1, dalam waktu kurang dari sepekan terakhir. Akibatnya, rekor tak terkalahkan Pangeran Biru sejak awal musim harus berakhir. Dua kekalahan tandang beruntun, yang diderita Maung Bandung ini, didapat saat melawan Bali United (kalah 0-1), dan Bhayangkara FC (0-2).
Jika dilihat lagi, kedua kekalahan ini, adalah akumulasi, dari berbagai masalah yang ada dalam tim, baik itu masalah yang sudah ada sejak lama, maupun masalah yang saat ini sedang terjadi. Kombinasi masalah ini, kini menempatkan Persib pada situasi 'lampu kuning', alias rawan.
Masalah lama, yang kini sedang mengganggu Persib, ada pada mental bertanding tim, dan urusan teknis. Dari segi mental bertanding tim, Persib mempunyai 1 'penyakit lama'; mereka sangat tangguh di laga kandang, tapi mengkhawatirkan di laga tandang. Saking hebatnya mereka di kandang, hasil imbang terasa seperti sebuah kekalahan. Tapi, jika bisa imbang di kandang lawan, itu terasa seperti kemenangan. Pada pekan-pekan awal Liga 1 musim ini, sebetulnya masalah itu sempat hilang. Tapi, masalah itu malah kambuh lagi, saat kalah beruntun dari tuan rumah Bali United (1/6), dan Bhayangkara FC (4/6) lalu.
Dari segi teknis, masalah lama, yang kembali muncul adalah, tumpulnya lini depan Persib. Masalah ini muncul, sebenarnya karena salah persepsi, antara manajemen, dan tim pelatih, soal karakter ujung tombak ideal tim. Tim pelatih, biasanya menghendaki tipikal penyerang haus gol (finisher/poacher).
Tapi, manajemen tim justru mendatangkan tipikal penyerang target man (pemantul/pembagi bola atas), seperti pada kasus Juan Carlos Belencoso (Spanyol), dan terkini Carlton Cole (Inggris). Akibatnya, skema permainan tim menjadi kacau, si penyerang pun dianggap 'gagal', dan jadi kambing hitam. Padahal, perbedaan karakter, dan tingkat rasio gol, antara penyerang tipe finisher/poacher, dan target man, sangat jelas terlihat. Anehnya, perbedaan mendasar ini seperti kurang diperhatikan, oleh manajemen tim.
Sedangkan, masalah yang kini sedang mengganggu Persib, ada pada gaya komunikasi tim ke media, intervensi manajemen, dan reaksi Bobotoh, atas performa buruk tim. Dalam hal komunikasi ke media, intensitas komunikasi Persib tergolong tinggi. Mereka amat terbuka kepada media, mengenai apapun yang mereka lakukan. Di mata media, ini adalah sesuatu yang sangat baik. Tapi, keterbukaan (yang berlebihan) ini, justru menjadi salah satu sumber utama informasi tim lawan, untuk menganalisis apa kelemahan Persib, yang dapat dieksploitasi.
Dari sisi intervensi manajemen, ini terlihat jelas, setelah laga versus Bali United, dan Bhayangkara FC. Dalam dua laga ini, sosok yang lebih banyak mengeluarkan pernyataan ke media, adalah Manajer/CEO/Direktur Teknik Persib, yakni Umuh Muchtar. Padahal, dalam sepakbola profesional, ini seharusnya adalah tugas Djadjang Nurdjaman alias Djanur, selaku pelatih tim. Lazimnya, CEO atau direksi tim, hanya terlibat di balik layar, termasuk dalam hal pendanaan, atau pencanangan target prestasi tim. Kalaupun harus tampil, mereka hanya perlu tampil, pada kegiatan seremonial, atau kegiatan resmi klub diluar lapangan, misalnya, peluncuran tim, peresmian transfer pemain, dan peresmian ikatan kerja sama dengan sponsor klub.
Performa buruk Persib, di dua laga terakhir, memicu reaksi negatif dari Bobotoh. Seperti yang terlihat, di penghujung laga versus Bhayangkara FC, Minggu (4/6) lalu. Ketika itu ada sekelompok oknum Bobotoh, yang merangsek masuk ke lapangan, dan melempari lapangan dengan botol, atau benda asing lainnya. Sikap anarkis ini, mencerninkan betapa kecewanya mereka, atas performa minor tim. Tapi, ini jelas tak bisa dibenarkan, karena melanggar aturan. Akibatnya, Persib terancam dijatuhi sanksi denda oleh Komisi Disiplin PSSI.
Performa buruk Persib ini, membuat posisi pelatih Djanur mulai dipertanyakan. Tapi, dalam hal menentukan nasib Djanur, manajemen harus berhati-hati. Jika Djanur sampai dipecat, sebetulnya ini adalah keputusan gegabah. Karena, Persib baru 2 kali kalah, kompetisi Liga 1 juga masih jauh dari selesai. Pergantian pelatih belum tentu akan langsung membereskan masalah. Malah, ini adalah sebuah perjudian, dengan peluang sukses-gagal yang sama besar.
Dalam situasi 'lampu kuning' semacam ini, yang perlu dilakukan Persib, adalah menenangkan diri sejenak. Supaya, mereka dapat mengambil keputusan jitu, dengan kepala dingin, sambil memulihkan diri. Jika perlu, mereka bisa melakukan "silenzio stampa" (aksi diam sejenak kepada media), seperti yang biasa dilakukan klub-klub di Italia, pada situasi genting semacam ini, setidaknya sampai situasi dalam tim sudah benar-benar kondusif.
Bagi Bobotoh, situasi ini seharusnya dapat menjadi momentum, untuk dapat menyikapi kekalahan secara dewasa, tanpa bersikap anarkis. Sikap anarkis hanya akan merugikan, baik bagi diri sendiri, tim kesayangan, maupun tim lawan. Lagipula, sebuah tim (dan suporternya) harus selalu siap menerima hasil imbang, dan kalah, sesiap menerima sebuah kemenangan. Karena, kalah, imbang, dan menang, adalah resiko yang harus selalu siap diterima, dalam sebuah pertandingan, termasuk sepak bola.