Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Gandari, Kurawa, dan Demokrasi Masa Kini

Diperbarui: 26 April 2017   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pewayangan, kita mengenal sosok tokoh Dewi Gandari, sebagai seorang istri, dan ibu yang ambisius. Ia ingin, agar anaknya kelak dapat bernasib lebih baik, dibanding dirinya, dan Destarata, suaminya, yang seorang tunanetra. Meski maksud, dan tujuannya baik, Gandari membuat satu kesalahan mendasar; ia lebih mementingkan kuantitas, dibanding kualitas. Baginya, jika ia memiliki banyak anak, maka kekuasaan akan lebih terjamin. Parahnya lagi, saat ia mengandung, ia selalu diliputi pikiran negatif, dan ambisi untuk berkuasa, yang tanpa disadari, membentuk mental, dan perilaku anak-anaknya kelak.

Keinginan Gandari, untuk mempunyai banyak anak ini, akhirnya terwujud saat persalinan tiba. Setelah mengandung selama tiga tahun, Gandari melahirkan. Tapi, yang ia lahirkan adalah sebongkah daging berbau busuk, mirip tumor jika dalam konteks zaman sekarang. Daging ini, adalah gambaran wujud nafsu Gandari. Sebongkah daging itu, lalu terpecah menjadi bagian yang amat kecil, dan berubah wujud, menjadi 100 orang bayi, yang kita kenal, dengan sebutan Kurawa, tokoh antagonis dalam epos Mahabharata.

Dalam perjalanan hidupnya, Kurawa justru membuktikan anggapan Gandari salah. Mereka memang banyak secara kuantitas, tapi minim kualitas. Ini berbanding terbalik, dengan Pandawa, yang jumlahnya hanya lima, tapi semuanya berkualitas tinggi. 'Pembuktian' Kurawa ini, mencapai puncaknya, saat mereka semua gugur, dalam perang besar Bharatayuda, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Pandawa.

Jika kita melihat ke sisi lain, pemikiran Gandari, yang lebih mengutamakan kuantitas, daripada kualitas, adalah sesuatu yang 'out of the box', dalam dunia pewayangan. Dalam dua epos besar pewayangan, yakni Mahabharata dan Ramayana, Gandari menjadi satu-satunya tokoh, yang berpemikiran demikian.

Uniknya, pemikiran Gandari ini, menjadi konsep dasar demokrasi saat ini. Dimana, pemenang ditentukan, lewat suara terbanyak Jika Gandari, dan Kurawa hidup di zaman sekarang, dan berperang dengan cara demokrasi, mungkin mereka akan menang. Meskipun, mereka adalah figur yang penuh keburukan, bagaimanapun, secara jumlah, mereka jelas lebih banyak.

Gandari, dan Kurawa memang tidak hidup di zaman ini, dan berpolitik secara demokratis. Tapi, mereka menjadi pengingat bagi kita. Betapa berbahayanya, jika demokrasi disalahgunakan, hanya untuk mewujudkan kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan bersama. Dengan kemenangan secara kuantitas, kekuasaan memang akan dapat diraih. Tapi, kemenangan itu akan mubazir, jika tanpa didukung kualitas yang mumpuni.

Pada saat yang sama, demokrasi mengajak kita, yakni rakyat, sebagai pelaku utamanya, untuk dapat memilih pemimpin dengan bijak. Apapun hasil akhirnya, siapapun pemenangnya, kita hanya perlu menerima dengan ikhlas. Tapi, kita harus tetap terus 'mengawal' siapapun pemimpinnya. Dalam artian, kita terus mendukung kebijakan/kinerja yang baik, sambil mengingatkan, soal kebijakan/kinerja, yang kurang baik. Agar, kehidupan bersama yang lebih baik dapat terwujud. Karena, itulah tujuan akhir dari demokrasi. Bukan begitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline