Dalam sepakbola, ada tiga macam akhir karir pemain, happy ending, silent ending, atau sad ending. Happy ending, biasanya dialami para pemain, yang mengakhiri karir, dengan gelimang sukses di klub, dan dicintai suporter, seperti dialami Xavi Hernandez, atau Paul Scholes. Keduanya dilepas, dengan penghormatan penuh, oleh suporter dan klub masing-masing.
Silent ending, dan sad ending, sebetulnya serupa, tapi tak sama. Keduanya sama-sama bukan akhir karir yang mengenakkan, bagi pemain. Perbedaannya, silent ending biasa dialami, oleh pemain yang statusnya 'antara ada dan tiada' di tim. Sedangkan, sad ending dialami mereka, yang dianggap gagal, atau dianggap pengkhianat klub. Contoh kasus sad ending, dialami oleh Gonzalo Higuain, yang pindah dari Napoli ke Juventus, musim panas 2016 silam. Karena keputusannya ini, Higuain dicap pengkhianat, oleh suporter Napoli.
Salah satu contoh silent ending, baru saja dialami Bastian Schweinsteiger, alias Basti. Pada Selasa, (21/3) lalu, eks kapten timnas Jerman ini, resmi pindah ke klub Chicago Fire, yang berlaga di Liga Amerika Serikat (MLS). Pada kasus transfer ini, Basti dapat segera pindah, karena bursa transfer klub MLS masih terbuka. Proses kepindahan ini, tergolong sunyi, dan lancar, untuk pemain sekelas Basti, yang turut berkontribusi, mengantar timnas Jerman juara Piala Dunia 2014 di Brasil.
Perpisahan sunyi ini, menjadi akhir, dari periode tak mengenakkan Basti di United. Sejak datang ke United tahun 2015 lalu, suami Ana Ivanovic ini, memang tak lepas dari kemalangan. Di awal kedatangannya, ia dibebani ekspektasi tinggi, karena rekam jejaknya yang sangat sukses, di Bayern Munich, dan timnas Jerman. Di Bayern, Basti sukses meraih sejumlah gelar, termasuk juara Liga Champions 2013. Di timnas, Basti adalah pemain utama tim, dan seorang juara dunia.
Tapi, ekspektasi tinggal ekspektasi. Alih-alih mengangkat performa United, Basti justru kerap mengalami cedera. Alhasil, meski musim lalu sukses menjuarai Piala FA musim 2015/2016, trofi itu tetap dianggap, sebagai sebuah kegagalan. Karena, pada musim yang sama, United gagal finis, di 4 besar klasemen EPL. Akibatnya, Louis Van Gaal, dipecat dari posisi pelatih, dan digantikan oleh Jose Mourinho.
Pergantian pelatih ini, memberi kemalangan berikutnya bagi Basti. Basti, yang tak masuk rencana Mourinho, awalnya dimasukkan ke daftar transfer. Tapi, karena tak ada klub yang berminat, Basti dimasukkan ke tim U-23 atau Reserve (setara tim B di Spanyol) United. Akibatnya, status Basti di tim menjadi 'antara ada dan tiada'. Cara Mourinho memperlakukan Basti di United, langsung menuai kecaman dari berbagai pihak.
Situasi sedikit membaik, menjelang akhir tahun 2016. Padatnya jadwal bertanding United saat itu, memaksa Mourinho mengembalikan Basti ke tim utama. Tapi, menit bermain Basti tetap saja terbatas. Total, pada musim 2016/2017 ini, ia hanya dimainkan, di 4 laga; 2 kali di Piala FA, dan masing-masing 1 kali, di ajang Piala Liga, dan Liga Europa. Ternyata, keempat penampilan itu, menjadi "hadiah perpisahan" Mourinho untuk Basti.
Di satu sisi, ini adalah akhir sunyi, yang terasa tidak mengenakkan baginya. Tapi, di sisi lain, kepindahan Basti ke MLS, menjadi pilihan terbaik baginya. Mengingat usianya yang sudah menjelang 33 tahun, dan sudah kenyang gelar juara, inilah kesempatan terbaiknya, untuk menikmati usia senja karir sepakbolanya, tanpa ada tekanan berlebih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H