Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Perlunya Transparansi Keuangan di Liga Indonesia

Diperbarui: 25 Februari 2017   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara soal kompetisi profesional, aspek transparansi keuangan, tentu tidak bisa dikesampingkan. Transparansi keuangan, di tingkat klub, diantaranya mencakup; besaran nilai kontrak sponsor, gaji pemain dan ofisial tim, plus laporan laba-rugi klub, yang harus dipublikasikan secara berkala (bulanan/tahunan). Tentunya, dengan menggandeng pihak auditor eksternal, yang memang ahli di bidangnya.

Di kompetisi sepakbola Eropa (misal, EPL, dan Liga Champions), audit laporan keuangan secara berkala, biasa dilakukan oleh Deloitte Football Money League, atau yang dikenal dengan sebutan Deloitte, lembaga audit keuangan yang berbasis di London (Inggris). Laporan yang dihasilkan, berupa laporan laba-rugi klub atau kompetisi, yang dipublikasikan secara berkala. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban penyelenggara kompetisi, kepada sponsor dan masyarakat, khususnya suporter. Nantinya, jika terdapat kelebihan keuntungan, maka akan dibagikan ke klub-klub peserta secara merata. Selain kompetisi, Deloitte juga mengaudit kinerja keuangan klub-klub Eropa.

Bagi klub dan kompetisi secara internal, laporan audit secara berkala ini, berfungsi sebagai alat evaluasi, atas kinerja keuangan klub. Nantinya, hasil audit ini, akan menentukan, bagaimana strategi bisnis, dan anggaran belanja klub ke depannya, serta menjadi alat deteksi dini, jika kondisi keuangan klub bermasalah.

Secara eksternal, hasil audit, dijadikan alat monitoring, oleh penyelenggara kompetisi, agar dapat memastikan, kewajiban klub, soal gaji pemain, direksi, dan ofisial selalu terpenuhi dengan baik. Nantinya, jika ada pelanggaran, berupa tunggakan gaji, akan dikenakan sanksi. Atau, jika klub ternyata mengalami krisis keuangan parah, dapat diambil kebijakan khusus, seperti dialami AC Parma, yang harus mengalami pengurangan poin, dan mendapat dana talangan, sampai usainya musim kompetisi 2014/2015, karena menunggak gaji pemain dan ofisial tim, akibat krisis keuangan parah, dan dinyatakan bangkrut. Di akhir musim, Parma terdegradasi dari Serie A, tapi mereka langsung diturunkan ke divisi amatir, kasta terendah Liga Italia.

Di Indonesia, pengauditan semacam ini, baru dilakukan di ajang Piala Presiden, edisi 2016, dan 2017, dengan PSSI menggandeng lembaga auditor Pricewaterhouse Coopers (PwC), untuk mengaudit neraca keuangan turnamen pramusim ini. Hasilnya cukup sukses, dan diapresiasi klub peserta. Inilah pertama kalinya, sebuah kompetisi sepakbola di Indonesia, mampu menerapkan transparansi keuangan secara nyata.

Praktek transparansi keuangan di Piala Presiden, seharusnya dapat diterapkan juga, di tiap kasta Liga Indonesia. Apalagi, klub-klub, dan operator kompetisi di Indonesia, umumnya adalah badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT), yang semestinya merupakan objek pajak.

Bagi pemerintah, hasil audit klub atau kompetisi, adalah sarana informasi, untuk dapat mengetahui, besaran potensi penerimaan negara lewat pajak, baik secara perorangan (gaji pemain/ofisial/direksi klub), atau institusi (klub/kompetisi), yang pada proses pengawasannya, dilakukan oleh pihak berwajib, termasuk KPK dan BPK. Supaya, potensi terjadinya penyelewengan, tunggakan gaji, dan pencucian uang dapat dicegah. Sehingga, kompetisi profesional di Indonesia, dapat menjadi kompetisi profesional seutuhnya, yang dapat memberi manfaat positif, dalam tiap aspek, termasuk finansial, kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline