Klasemen paruh musim, di Liga Belanda musim 2016/2017, memberikan satu pemandangan berbeda. Bukan Ajax Amsterdam, atau PSV Eindhoven, tapi Feyenoord Rotterdam, yang duduk di posisi puncak. Sebetulnya, jika mellihat sejarah kompetisi Eredivisie, hal ini sebenarnya adalah hal biasa. Karena Ajax, PSV, dan Feyenoord, adalah tim yang memang mendominasi kompetisi ini. Di tingkat antarklub Eropa, mereka adalah representasi sepakbola Negeri Tulip, karena ketiganya pernah menjuarai kompetisi Liga Champions (Ajax juara edisi 1971, 1972, 1973, dan 1995; PSV 1988; Feyenoord 1970).
Sejak Liga Belanda menjadi kompetisi profesional tahun 1956, hanya dua tim, diluar ketiganya, yang mampu menjadi juara liga; AZ Alkmaar (musim 1980/1981 dan 2008/2009), dan FC Twente (2009/2010). Tapi, duduknya Feyenoord di puncak klasemen ini, menjadi yang pertama, sejak lebih dari sedekade terakhir.
Bagi Feyenoord sendiri, performa bagus mereka musim ini, menjadi oase tersendiri, setelah sebelumnya mengalami masa suram, selama kurun waktu 2003-2011. Memang, dalam kurun waktu itu, De Rotterdamers sempat diperkuat bintang-bintang macam Robin Van Persie, Dirk Kuyt, Salomon Kalou, dan Giorginio Wijnaldum. Tapi, klub kesulitan berprestasi, akibat krisis keuangan, hooliganisme, dan disharmoni dalam tim.
Akibatnya, klub asal kota Rotterdam ini paling tinggi hanya mampu duduk di urutan ketiga klasemen akhir liga, tanpa mampu bersaing memperebutkan gelar juara. Bahkan, akibat ulah anarkis suporternya, Feyenoord sempat didiskualifikasi dari ajang Piala UEFA (kini Liga Europa) musim 2006/2007, dan dilarang tampil di kompetisi antarklub Eropa musim berikutnya.
Satu-satunya gelar mayor yang mereka raih, selama periode suram ini, adalah juara KNVB Beker (Piala Belanda), musim 2007/2008, setelah mengalahkan Roda JC Kerkade di final. Selebihnya, Feyenoord hanya dianggap sebagai ‘klub yang besar karena prestasi masa lalu'. Dan laga De Klassieker (El Clasico-nya Belanda, antara Ajax Vs Feyenoord), tidak lagi menarik perhatian publik, tapi menjadi perhatian ekstra aparat keamanan. Karena, tingginya potensi kerusuhan antarsuporter kedua tim.
Setelah masa suram itu, Feyenoord mulai berbenah. Mereka menunjuk Ronald Koeman (kini pelatih Everton) sebagai manajer, dan Giovanni "Gio" Van Bronckhorst, sebagai asistennya. Mereka juga melakukan belanja pemain secara efektif, diantaranya, dengan mendatangkan Graziano Pelle, dan mempromosikan Jordi Clasie, Stevan de Vrij, dan Bruno Martins Indi dari tim junior. Hasilnya Feyenoord mampu konsisten di tiga besar klasemen, antara tahun 2011-2014.
Setelah Koeman pindah ke Southampton, musim panas 2014, posisinya digantikan oleh Fred Rutten (eks pelatih FC Twente), dengan Gio masih sebagai asisten. Tapi, Fred Rutten hanya bertahan semusim, ia mundur di akhir musim, setelah Feyenoord hanya mampu finis di urutan 4 klasemen akhir Liga Belanda 2014/2015.
Manajemen Feyenoord lalu ‘mempromosikan' Giovanni Van Bronckhorst sebagai pelatih kepala. Gio, dianggap sudah paham betul karakteristik tim, karena sudah empat tahun menjadi asisten pelatih di klub ini. Di musim panas 2015, klub memang kehilangan Jordi Clasie, tapi segera digantikan, dengan mempromosikan Tony Vilhena dari tim junior, dan mendatangkan Eljero Elia, dari Werder Bremen.
Dengan transfer efektif, dan kondisi internal tim yang baik, Feyenoord mampu finis di urutan ketiga klasemen akhir. Musim pertama Gio, sebagai pelatih kepala pun menjadi berkesan, setelah eks kapten timnas Belanda ini, sukses membawa Feyenoord menjuarai Piala Belanda 2015/2016, dengan mengalahkan FC Utrecht di final.
Pada musim 2016/2017 ini, Feyenoord mengalami peningkatan performa di liga. Hingga jeda musim dingin, Feyenoord mampu meraih 42 poin dari 17 laga, unggul 5 poin dari Ajax (37 poin), dan PSV (34 poin), dan hanya mengalami satu kekalahan. Di ajang Liga Europa, mereka memang tersingkir di fase grup, tapi mereka sempat membuat kejutan, saat menang 1-0, atas Manchester United di Rotterdam. Sementara itu, di ajang Piala Belanda, Feyenoord baru saja lolos ke fase perempat final, setelah membantai ADO Den Haag 5-1 di perdelapanfinal.
Musim kompetisi memang masih separuh jalan, segalanya masih mungkin terjadi. Di sinilah kapabilitas Feyenoord, untuk meraih gelar juara akan benar-benar diuji. Jika mereka mampu konsisten seperti saat ini, mereka akan meraih gelar landskampioen pertama, sejak musim 1998/1999, dan bukan tidak mungkin mereka dapat meraih gelar ganda (Juara Liga dan Piala Belanda) di akhir musim. Bagi Gio sebagai pelatih, ini menjadi uji pembuktian kemampuannya. Mampukah Gio dan Feyenoord mewujudkannya?