Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Plus Minus Keterbukaan di Liga Inggris

Diperbarui: 26 Desember 2016   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak musim kompetisi 1990/1991, Liga Inggris menerapkan sejumlah perubahan, di kompetisi liga. Perubahan itu, diantaranya, melakukan rebranding nama kompetisi, dari yang semula bernama Division One, menjadi English Premier League. Division One sendiri, lalu digunakan, sebagai nama baru, untuk kompetisi kasta kedua Liga Inggris, sampai musim kompetisi 2003/2004, sebelum berubah nama lagi, menjadi Championship Division hingga kini.

Selain perubahan nama kompetisi, Liga Inggris juga menerapkan perubahan regulasi, dengan memperketat standar pengamanan stadion, melarang adanya tribun berdiri (sesuai dengan rekomendasi kepolisian setempat, pasca Tragedi Hillsbrough, yang menewaskan 96 orang suporter Liverpool), menetapkan standarisasi kualitas siaran, dan memberantas hooligan (bekerjasama dengan pihak kepolisian). 

Dari segi komposisi pemain, Liga Inggris juga menerapkan kebijakan sangat longgar, mengenai batasan jumlah pemain asing dalam satu tim. Syaratnya sederhana; pemain mempunyai kewarganegaraan Uni Eropa/ Britania Raya, atau, tidak mempunyai kewarganegaraan Uni Eropa/ Britania Raya, tapi memenuhi kriteria administratif (mempunyai izin kerja di Inggris), sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku.

Dalam perkembangannya, kelonggaran ini, juga merambah sampai level pembinaan pemain muda di  tingkat klub, maupun timnas Inggris. Ketentuan yang longgar ini, masih terus diterapkan, karena Brexit (Britania Raya keluar dari Uni Eropa), masih menjadi tarik-ulur. Dari segi kompetisi antarklub, kelonggaran jumlah pemain asing ini, menjadi salah satu daya tarik, dan kelebihan utama Liga Inggris. Kelebihan ini, ditambah dengan keterbukaan luar biasa, dalam hal sponsor, hak siar, dan kepemilikan klub,  memmbuat liga ini terlihat sangat mewah. Pemain asing kelas dunia pun datang silih berganti tiap musimnya. Belakangan, kemewahan ini makin bertambah, dengan masuknya pelatih-pelatih kelas dunia, Seperti Josep Guardiola, Jose Mourinho, Juergen Klopp, dan Antonio Conte.

Tapi, meski menghadirkan kemewahan, keterbukaan Liga Inggris ini juga menghadirkan efek samping; minimnya jumlah pemain, dan pelatih lokal berkualitas di Inggris. Dari sisi pemain, mereka tidak lepas dari beban berat; sorotan berlebihan dari media Inggris. Jika mereka mampu lolos, dari badai tekanan ini, dan tetap tampil bagus, mereka akan menjadi pemain berkualitas. Kasus ini, pernah dialami Harry Kane (Tottenham), Jordan Henderson (Liverpool), dan Theo Walcott (Arsenal). 

Tetapi, jika gagal mengatasi tekanan ini, mereka akan dianggap sebagai pecundang. Seperti yang dialami Andy Carroll (West Ham), dan Jack Wilshere (Arsenal). Mereka pernah dipuji sangat tinggi, oleh media Inggris, pada awal kemunculannya. Tapi, mereka kesulitan meningkatkan performanya, karena menerima sorotan berlebih, dan kerap  cedera. Akibatnya, mereka layu sebelum berkembang.

Dari sisi pelatih, keterbukaan ini memunculkan paradoks; pelatih asing menjadi raja, sedangkan pelatih lokal hanya pelengkap, terutama di divisi teratas Liga Inggris. Paradoks ini, muncul karena mayoritas pemilik klub Liga Primer, berorientasi instan. Mereka menuntut klub mengembalikan investasi mereka secepat mungkin, dengan mematok target; mencetak prestasi  setinggi mungkin, dalam waktu secepatnya, dan (jika perlu) dengan  gaya sepakbola seindah mungkin. Kriteria ini, jelas sulit diterapkan pelatih asli Inggris, yang  kebanyakan masih terpaku pada gaya kick and rush khas Inggris.

Pelatih-pelatih lokal ini, kebanyakan hanya mendapat ‘ruang belajar' di divisi-divisi bawah Liga Inggris. Dari sinilah, mereka terus merangkak naik, sebelum akhirnya mencapai divisi puncak, Meski akhirnya hanya tersisa sedikit pelatih yang mampu. Seperti yang terjadi pada Sam Allardyce (kini di Crystal Palace), Alan Pardew (Crystal Palace, sudah dipecat) Tony Pulis (West Brom), dan Eddie Howe (Bournemouth).

Akibatnya, tim nasional  Inggris kesulitan berprestasi di kancah  internasional, dan memilih pelatih tim nasional asal negeri sendiri, padahal, ini adalah tradisi mereka, selama seabad lebih. Celakanya, FA (PSSI-nya Inggris), seperti membiarkan masalah ini. Mereka bahkan sempat ‘melanggar tradisi', dengan mengontrak Sven-Goran Eriksson (Swedia, 2001-2006), dan Fabio Capello (Italia, 2008-2012).

Hasilnya, tetap saja gagal. Di saat negara-negara raksasa sepakbola dunia saling bersaing mengejar titel juara, Inggris justru stagnan, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Ketersingkiran mereka, di fase grup Piala Dunia 2014, dan fase 16 besar Piala Eropa 2016 lalu, menjadi bukti teraktual.

Kasus yang terjadi di Liga Primer, dan Timnas Inggris ini, menjadi sebuah cerminan; keterbukaan pada pihak luar, dalam sepakbola, itu perlu, tapi tidak berlebihan. Supaya, dapat memberi ruang bagi sumber daya lokal, untuk tetap berkembang, dan menjadi tuan rumah, di negeri sendiri. Sehingga, dapat menciptakan tim nasional berkualitas, yang mampu mencetak prestasi positif, secara berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline