Ini kisah tentang Ceu Edoh, tetangga saya. Di kampung saya, Ceu Edoh sangat familiar. Dia dikenal oleh siapapun. Pak Kepala Desa sampai Mang Karim sang pencari kayu bakar, sering tampak bercakap akrab dengan Ceu Edoh. Bu Haji Saodah yang mempunyai sepuluh pabrik penggilingan padi sampai Nenek Cioh yang tinggal di gubuk tua dan numpang di kebun Juragan Odang, tidak pernah merasa canggung bergaul dengan Ceu Edoh.
Siapapun menyukai Ceu Edoh. Termasuk anak-anak. Bila ada orang tua yang akan pergi, mereka pasti menitipkan anak-anaknya kepada Ceu Edoh. Dan anak-anak itu senang-senang saja, karena Ceu Edoh memang sudah bermain dengan anak-anak.
Pekerjaan tetapnya Ceu Edoh adalah mengurus seekor sapi. Setiap pagi-sore memerah susu, agak siangnya menyabit rumput. Jadi, bila soal tenaga, Ceu Edoh sangat bisa diandalkan.
Kisah ini terjadi saat perayaan agustusan, cuma tahunnya saya nggak akan menyebutkannya. Ceu Edoh sibuk menjadi panitia segala acara, dari perlombaan sampai pengajian. Di kampung saya, bila agustusan, perlombaannya termasuk lengkap. Bisa satu minggu, siang-malam, kegiatan terus berlangsung. Panjat pinang (eh bambu), balap karung, makan cabai rawit dan tahu, berlari dengan bakiak, menangkap belut, lari marathon, pingpong, futsal, catur, menangkap undur-undur, dan yang lainnya.
Tapi acara puncak segala perlombaan tetap saja panjat bambu (karena pohon pinang sudah susah didapat). Dalam panjat bambu, peserta dan penonton sama-sama hebohnya. Sorak-sorai sambil tertawa tidak berhenti.
Panjat bambu biasanya dbagi menjadi beberapa grup. Ada grup anak-anak, bapak-bapak, remaja yang masih bertenaga penuh, dan ibu-ibu. Ceu Edoh tentu saja adalah peserta tetap setiap tahun. Ya, itu tadi karena tenaganya yang besar. Tapi untuk bagian yang paling bawah, masih tetap Bik Iyom yang badannya seperti pemain sumo.
Bambu untuk dipanjat ibu-ibu sebenarnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu licin. Tapi dasar ibu-ibu, naik sedikit langsung menggelosor lagi, naik sedikit langsung turun lagi. Tentu saja yang sorak, mengomentari dan mentertawakan ramai sekali. Setelah hampir satu jam berusaha naik, ibu-ibu tampaknya sudah kelelahan semua. Untungnya bambu yang licinnya pun sudah nyaris tidak ada. Waktu Ceu Edoh naik lagi, didorong dari bawah oleh Neng Tatin, hadiah-hadiah yang berkibar itu sudah hampir tergapai. Sorak-sorai semakin ramai.
Neng Tatin, sejak awal panjat bambu, lebih banyak tertawanya daripada naiknya. Niatnya pasti mendorong Ceu Edoh, tapi kakinya tidak kuat menjepit bambu, jadi turun lagi. Neng Tatin langsung memegang celana Ceu Edoh. Lantaran Ceu Edoh bertahan tidak mau turun, celananya merosot. Kolornya tentu saja terlihat. Sorak-sorai semakin riuh. Yang tertawa ada yang sampai terduduk sambil memegangi perut.
Ceu Edoh terpaksa ikut turun sambil memegangi celananya. Semua yang ada di sana tidak ada yang tidak tertawa. Ceu Edoh juga awalnya ikut tertawa. Tapi begitu sampai ke tanah, dia langsung berlari ke rumahnya. Ceu Edoh keluar rumah lagi saat panjat pinang mau selesai. Tentu saja dia gagal menjadi peserta yang mendapat hadiah paling banyak. Tapi dia kebaian juga sebuah kaos dan payung. Ceu Edoh cengar-cengir saat menerima hadiah dan grupnya berfoto bersama.
***
ikuti cerpen penulis ini lainnya DI SINI