Lihat ke Halaman Asli

Kirim-kiriman Makanan

Diperbarui: 17 Agustus 2017   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cerpen ini pernah dimuat harian Solo Pos

Di kampung saya, setiap memasuki bulan puasa masih ada kebiasaan kirim-kiriman makanan. Tidak saja antarsaudara atau tetangga sebelah rumah. Kirim-kiriman makanan itu bisa kepada kenalan di kampung lain.

Kebiasaan itu biasanya dilakukan di awal bulan puasa atau di akhir saat menjelang Idul Fitri. Emak pernah mengalami kejadian lucu yang berhubungan dengan kirim-kiriman makanan itu. Suatu pagi emak mengirim kue bolu bikinannya kepada Bi Irah. Besoknya kue bolu itu datang lagi ke rumah, kiriman dari Ceu Mumun. Ceritanya, emak mengirim kue bolu kepada Bi Irah, oleh Bi Irah dikirimkan lagi kepada Wa Esih. Wa Esih mengirimkan kue bolu itu kepada Bu Ening. Bu Ening mengirimkannya kepada Ceu Mumun. Ceu Mumun tidak tahu kue bolu itu buatan emak, jadi mengirimkannya kepada emak.

Tapi itu terjadi sekitar sepuluh tahun lalu seperti cerita Emak. Sekarang semakin jarang yang melakukan kebiasaan kirim-kiriman itu. Emak masih melakukannya, tapi hanya kepada saudara dekat saja.

Saya ingin menceritakan kejadian lucu yang saya alami sendiri. Saya sering main ke rumah Nenek Amih, tetangga sebelah rumah. Nenek Amih bukan nenek asli saya. Hanya saudara jauh, tapi sejak ingat saya memanggilnya Nenek Amih. Sore hari di bale-bale rumah Nenek Amih, saya dan anak-anak lainnya, sering mendengarkan dongeng Nenek Amih.

Suatu pagi Nenek Amih sedang mengupas ubi. Di kampung saya, ubi harganya murah. Hampir setiap kebun ditanami ubi. Kalau kita ingin makan ubi, tinggal minta saja, pasti banyak yang memberi. Setiap panen, yang punya kebun suka memisahkan untuk diberikan kepada yang mau.

Saya membantu mengupas ubi ketika melihat Nenek Amih mengupas ubi yang banyak.

"Buat apa, Nek, ubi sebanyak ini?" tanya saya.

"Mau bikin kolak. Kasih tahu anak-anak, bantu Nenek untuk memberikan kolak ini nanti, ya?" Nenek Amih malah balik bertanya.

"Memberikan kepada siapa?"

"Kalau cukup buat orang sekampung. Kalau tidak cukup, buat tetangga yang dekat saja dulu." Nenek Amih bicara sambil memotong-motong ubi yang sudah dikupas. "Nanti anak-anak buka bersama di sini. Boleh bawa nasi dari rumah masing-masing. Habis makan kolak, kita makan nasi bersama-sama di bale-bale."

"Asyik...," kata saya sambil beranjak pergi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline